Selasa, 26 Mei 2015

Setia


Suasana hening seiring berjalannya malam dalam dentang pukul 01.17 WIB yang kulirik dari jam di hadapan. Tak adalagi suara riuh di rumah maupun di lingkungan sekitar. Kurasa semua orang sudah terlelap dengan damainya. Hanya riuh jangkrik-jangkrik yang asyik berpaduan suara yang menjadi backsound malam ini. Sunyi dan sepi.

Kumatikan laptop mungilku bersamaan dengan meneguk segelas air putih yang sedari tadi bertengger gagah dimeja ku. Sambil menunggu sistemnya finish menghentikan kinerja operasi sistemnya, kubuka kembali laci di sebelah kananku. Kuamati lekat-lekat amplop coklat yang ada di sana. Lekat, setengah melamun, sampai beberapa detik setelah sistem laptopku benar-benar telah mati sempurna. Akankah esok hari kau akan keluar dari sana ??


...

Aku masih terjaga, sambil memandangi seraut wajah yang berhadapan denganku. Dekat, terasa sangat dekat. Mataku bahkan mampu menggali setiap pori-pori dan jentik-jentik komedo dengan jeli. Seraut wajah yang manis. Seraut wajah yang tenang mengarungi nuansa alam bawah sadar. Ya, alam bawah sadar, yang tanpa dia sadari bahwa aku selalu menikmati pose.nya seperti ini. Aku tersenyum, "Aku mencintaimu, mas..." Sejenak kemudian, lantas aku rekatkan wajahku dengannya. Kukecup keningnya yang lebar. Pelan, dengan nafas yang harus kutahan. Menjaga setiap gerak gerik diri ini agar tak ketahuan. Menjaga tidurnya agar tak terusik dengan tingkah rahasia yang rutin kulakukan. Ya, rahasia, dan suamiku tak pernah menyadarinya.

Entah mengapa mata ini tak jua segera merapat dalam penat. Kubangunkan badanku dan berjalan keluar kamar untuk berwudlu lalu menyimpuhkan segala peluhku hari ini padaMu. Di atas sajadah yang terbentang, aku luapkan segala peluh dan keluh yang tersimpan. Seperti menabung di bank, setiap harinya aku akan menitipkan segala curahan kepada Bank Kehidupan. Mendepositkan semua kegalauan yang tak mampu kusimpan sendirian, juga tak bisa sembarangan kutitipkan atau sekedar kubagi dengan orang lain. Ya, hanya Tuhan yang mampu menjaga setiap tangis dan harapan ini. Hanya Dia satu-satunya yang kupercaya menjaga setiap beban dan rahasia ini.

"Tuhan, sanggupkan aku untuk melawan segala keraguan. Tunjukkan padaku kebaikan yang harus kulakukan. Hindarkan aku dari luka penyesalan. Kuatkan aku Tuhan… Mudahkanlah hari-hariku esok hari. Berikan kebahagiaan kepada suamiku setiap hari. Aamiin. "
Kututup doa malam ini dan kembali ke sisi lelap suamiku. Kubenahi selimut yang melilitnya, kupastikan dia hangat dan terjaga dalam lelapnya. Ya, seperti itulah caraku memeluknya. Selimut menjadi wali dekap kerinduan yang tak pernah tersampaikan. Kupasrahkan kerinduan pada selimut yang membalutmu. Dan senyumku kembali mengulas puas karena kau benar-benar telah berada dalam dekapanku. Dalam angan ini terbersit kembali hari-hari yang akan kujalani setelah hari ini. Apakah perpisahan kelak akan membuatku bahagia?? Membuatmu bahagia?? Atau malah sebaliknya?? Kupejamkan kembali mata ini dan kuresapi segala timbang menimbang dan resiko perpisahan.

"Kami belum memiliki anak, jelas saja selama ini suamiku bahkan tak pernah menyentuhku. Jadi tak ada yang akan menjadi korban dari perpisahan kami.", begitulah gumamku untuk membulatkan tekad.
Terkadang suamiku itu begitu kejam, meski tak melakukan apa-apa. Ya, tak melakukan apa-apa. Karena dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Tanpa memandangku yang senantiasa berada di sisinya. Ahh, seburuk apapun sikapmu padaku, aku tetap mencintaimu mas… Kelak semoga kau menyadari itu. Namun sebelum kau menyadarinya, besok adalah hari dimana aku harus mengeksekusi pernikahan kita. Maafkan aku mas, aku tidak bisa membiarkanmu lebih lama terjebak dalam hubungan kita ini. Meski aku sangat mencintaimu, meski kutau ini akan melukaiku.

Aku teringat, hari-hari yang kulalui bersamamu selama kurang lebih dua tahun ini. Seperti biasa, aku meletakkan cappucino latte di samping tempat tidur kami, berharap ketika bangun, kau akan merasakan hangatnya kopi kesukaan telah siap diseruput olehmu. Tak lupa, sarapan untukmu juga telah kusiapkan di meja makan. Mulai dari roti selai kacang, hingga nasi goreng pedas kesukaanmu seperti yang dikatakan ibu kepadaku.

"Tyo itu penggemar masakan pedas nak, dia juga suka sekali sama roti yang di tengahnya dilapisi selai kacang. Sejak SD sampai SMA, ibu selalu menyiapkan menu roti selai kacang kesukaannya itu sebelum dia berangkat untuk belajar. Sesekali ibu buatkan nasi goreng kala dia ingin menu lain. Terkadang dia juga membawa serta rotinya ke sekolah jika terburu-buru mengejar waktu gara-gara dia bangun kesiangan. Semenjak Tyo hidup sendiri ketika kuliah, barulah dia menjadi jarang mendapatkan asupan roti selai kacang. Namun kecintaannya pada makanan tersebut tak menghilang . Setiap kali dia pulang, setiap paginya pasti minta dibuatkan roti selai kacang. Kadang juga saat dia akan kembali ke kota studinya, ibu menyiapkan beberapa bungkus roti dan selai kacang untuk dibawa serta ke perantauannya. Tyo itu begitu manis nak, semanis selai kacang kesukaannya."

Memang, mas Tyo memang manis. Semanis gula yang selalu kutambahkan dalam coffee latte.nya yang jika kuhitung setiap hari tuangannya, bisa untuk membeli emas seberat 30 gram. Namun nasehat ibu mertuaku itu selalu melekat di benakku. Aku akan menjaga anakmu bu, aku akan bersabar dengannya.

Seperti nasehat-nasehat ibu yang diberikan padaku sehari setelah kami menempati rumah kami sendiri, ibu selalu mengingatkanku tentang kesukaan suamiku. Suamiku adalah pecinta pedas, dan menggila selai kacang. Setiap kali ada selai kacang, entah berpadu dengan roti atau tidak, dia mampu melahapnya dengan penuh gairah. Seakan selai kacang adalah hidupnya.

Namun semua cerita dan nasehat yang kudapat dari ibu, tidak pernah kulihat kenyataannya. Sekalipun tidak. Suamiku tak pernah menyentuh masakanku, bahkan cappucino latte yang selalu ibu katakan bahwa itulah satu-satu minuman kesukaannya, tak pernah sesruputpun dia teguk. Aku rasa, semua seleranya telah dipaksanya berpindah kepadaku, karena setiap hari aku harus meneguk cappucino latte.nya dan menelan roti atau nasi goreng yang telah kupersiapkan untuknya. Agar tidak mubazir, aku hanya memasak apa yang suamiku suka. Namun pada akhirnya, aku juga yang memakannya, tanpa sedikitpun suamiku mencicipinya.

Itulah suamiku. Seorang yang hidup denganku, seatap denganku, tidur seranjang denganku, namun tak pernah menghidupkan ruang bahtera pernikahan kami. Seakan ini adalah pernikahan yang tak diinginkannya, namun juga tak bisa dia menolaknya. Sungguh, aku telah hidup selama 2 tahun dengan suami yang tak menganggapku. Aku seperti hidup dengan suami autis, bisu, sekaligus rungu. Namun aku tetap mencintai suamiku.

Karena dialah suamiku. Dialah orang yang wajib kucintai dan kupatuhi meski tak pernah keluar kata-kata atau isyarat apapun untuk kupatuhi darinya. Hanya setiap kali dia mendapat gaji, dia akan menanyakan rekeningku dan mentransfer sebagian gajinya ke rekeningku. Tak lupa, aku selalu menyatakan rasa terima kasihku kepadanya, meski tak ada jawaban lain selain kebisuan darinya. Namun apapun yang suamiku lakukan dan berikan, aku berusaha menjaga dan memanfaatkan sebaik-baiknya amanah darinya. Betapapun dia mencampakku, betapapun dia menghiraukanku, namun kutetap mencintainya. Karena inilah janjiku kepadaNya, mencintai kekasih halalku.

Sikapnya yang acuh inilah yang terkadang membuatku tak mengerti. Kenapa dulu dia bersedia dijodohkan denganku jika pada akhirnya dia tak menghiraukanku. Kenapa dia membiarkan dirinya terjebak dalam pernikahan yang seharusnya membuat hidup setiap pasangan menjadi lengkap dan bahagia. Ah, ini hanya soal waktu, pikirku di awal-awal pernikahan kami yang kusadari ada sedikit kejanggalan tentang sikap suamiku. Namun seiring berjalannya waktu, tak kutemui juga kenapa gerangan sikap suamiku ini begitu stagnan tanpa perubahan meski kucoba mendekati hatinya.

Pernah suatu ketika, saat pekerjaan mengharuskanku untuk tinggal di luar kota selama beberapa hari, aku mempersiapkan menu dan masakan untuk suamiku dan menyimpannya dalam lemari pendingin. Beberapa menu kupersiapkan dan untuk mengkonsumsinya tinggal dihangatkan saja. Setiap hari, setiap pagi, siang dan malam, aku selalu mengingatkannya untuk tidak lupa makan dan menghangatkan masakan yang telah kutinggalkan. Namun seperti biasa, suamiku sering tak  membalas, atau hanya berkata "ya". Dan saat aku kembali setelahnya, apa yang ada dalam almari pendingin tampak tak ada yang berpindah tempat satu sisipun, bahkan tak ada yang berkurang. Alhasil, beberapa hari aku yang mengakhiri nasib masakan kesukaanmu itu. Terkadang aku begitu membenci hal ini. Namun aku tetap menelan setiap kebencian itu. Mengapa?? Karena aku mencintai suamiku.

Aku teringat sekali kapan kau memandangku sebagai istri, sebagai pendampingmu. Yaitu ketika seluruh keluarga besar berkumpul saat lebaran. Kami memang tinggal di rumah kami sendiri setelah menikah dan jauh dari masing-masing orang tua kami. Karena pekerjaan mas Tyo di Jakarta yang tak bisa ditinggalkannya, membuatku harus ikut turut juga tinggal di Jakarta bersamanya. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan pekerjaan sebagai editor di salah satu perusahaan Publisher di sini. Karena orang tua kami tinggal di Jawa Timur, maka kami hanya akan sempat pulang ke kapung halaman saat menjelang lebaran.

Di hadapan keluargaku, di hadapan keluargamu, kau berpura seakan-akan kami hidup bahagia. Kaupun tak jarang mengajakku berbincang bersama keluarga. Namun hal yang pahit yang sempat kutelan mentah-mentah adalah saat tante Rini, adik ibu mertuaku, selalu menanyakan hal yang berhubungan dengan kehamilan, dan aku hanya mampu tersenyum kecil sambil mengatakan, "Mohon doanya tante". Saat itu juga aku memandang suamiku, dan seperti biasa, dia tak akan ikut bicara. Ahh, suamiku memang kejam.

Terkadang aku juga berfikir tentang semua ini, apakah suamiku yang memang kejam, ataukah aku saja yang terlalu bodoh?? Masih mau bersanding dengannya meski tak pernah dianggapnya. Berulang-ulang aku memastikan apa jawabannya namun tetap saja perasaan aku mencintaimu begitu membela hardiknya. Ya, aku mencintainya, itulah yang membuatku terus bertahan hingga sekarang. Namun suatu kejadian telah menamparku hingga aku benar-benar merasa kaku.

Sekitar 2 bulan yang lalu, aku mendapati suamiku asyik bercengkrama dengan seorang wanita yang kutau dia bukan rekan kerja atau pun relasinya. Saat itu tanpa sengaja kami ada di sebuah kafe yang sama, aku sedang mencari inspirasi menulis dan memilih tempat duduk di ujung pojok kafe tersebut. Dari bilik jendela besar yang memisah ruang dalam dengan teras kafe tersebut, kudapati suamiku bersama wanita itu. Kulihat tangannyapun mesra memegang tangan si wanita itu, mereka saling berbincang akrab sekali dengan sesekali tertawa dengan entah apa yang mereka perbincangkan. Sekejap, tanpa ucap, hatiku hancur sehancur-hancurnya. Mungkinkah selama ini wanita itu yang dia cintai?? Mungkinkah selama ini dia berhubungan dengan wanita itu?? Dan untuk pertama kali, aku menyerah dalam pernikahan kami dan ingin bercerai dengannya.

Semenjak kejadian itu, aku masih melayani suamiku seperti biasa, menyediakan coffee latte dan roti selai kacang kesukaannya, masih mengirimkan pesan sekedar untuk mengingatkan makan siang atau makan malam jika tak sempat makan di rumah. Masih setia mengingatkan untuk berhati-hati di jalan saat perjalanan pulang. Aku masih melakukannya, aku masih mencium keningnya saat lelap menguasainya dan memastikan dia hangat sepanjang malam. Aku masih setia mendengar dengkurnya yang kadang menggelitik konsentrasiku saat menulis. Ya, aku masih menjalani kewajibanku sebagai istri, meski ini rasanya sakit sekali. Dan diam-diam pula aku memutuskan untuk mengurus surat gugatan perceraian. Keputusan yang telah membulatkan tekadku untuk mengakhiri hubungan yang terasa semu ini.

Satu hari sejak gugatanku itu sudah berada di tangan, aku benar-benar gugup untuk mendeklarasikan kepada orang yang telah menyakiti hatiku. Namun sesuatu di luar dugaan terjadi kepada suamiku. Sebuah kecelakaan menimpanya dalam waktu yang bersamaan ketika aku kembali ke rumah dari Kantor Urusan Agama, dan dia dari kantornya. Handphoneku berdering selama perjalanan dan saat kutahu itu nomor panggilan darinya, aku segera menganggatnya,
"Halo, mas Tyo ?"
"Maaf ibu, benar saya bicara dengan istri pemilik handphone ini?"
"Iya benar, saya istrinya" sahutku penuh tanya siapa gerangan orang yang berbicara di balik lawan sambungan telepon itu yang tak kukenal sebagai suara pemilik nomor ini.
"Maaf mas, ada apa ya? Ini siapa?" sahutku kemudian
"Begini ibu, saya dari Rumah Sakit Jaya Sehat, suami ibu baru saja mengalami kecelakaan dan sekarang masih pingsan dirawat di UGD"
Astaghfirullah.. Seperti petir yang menyambar di siang bolong tanpa hujan, rasanya jantungku ikut terhujam.
"Baik mas, saya akan segera menuju ke sana, trimakasih" Lemas seketika merambati tubuhku yang sedari tadi tak merasa capai sama sekali. Tiba-tiba saja tangan ini gemetar untuk melajukan motor menuju rumah sakit itu.
"Ya Tuhan, selamatkan suamiku… kumohon selamatkan dia Ya Tuhan..."

Aku segera berlari menuju UGD setelah memarkir motor. Dengan doa-doa yang tak henti kuucap, terbayang kengerian wajah suamiku yang penuh darah dan luka di sini-sana."Ya Tuhan, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku", doaku tanpa henti. Aku segera menuju ruangan dimana suamiku dirawat. Segera kecemasanku ini menjadi sebuah kelegaan karena bayanganku tak terjadi sama sekali kepada suamiku. Suamiku yang tertidur di sana masih terlihat sehat, badannya masih utuh, hanya ada beberapa memar di kakinya. "Alhamdulillah, Trimakasih Ya Tuhan.. Engkau menyelamatkan suamiku..." syukurku sambil merengkuh dan mencium tangan suamiku.

Seketika aku mencium keningnya kembali saat tersadar dari lamunan ini. Kulihat wajahnya masih utuh, raganya tak ada yang tertinggal 1 pun. Hanya saja, keadaan kakinya yang sulit untuk kembali berjalan normal akibat terjadi patah tulang. Ya, kecelakaan itu membuat suamiku kesulitan berjalan. Bahkan, untuk sekedar berpindah tempat, aku harus membopongnya untuk bisa menjangkau kemana arah yang ingin dia tuju.

Aku sempat melupakan tentang keputusan perceraian yang seharusnya sudah kueksekusi beberapa minggu yang lalu. Semua karena aku hanya fokus pada suamiku dan kepulihannya. Suamiku memutuskan untuk cuti bekerja, dan istirahat total di rumah demi kesegeraan pemulihan kakinya. Saat itu adalah saat-saat aku begitu dekat dengan suamiku. Aku merasa benar-benar menjadi istrinya.

Semenjak insiden tersebut, yang mengharuskan kaki suamiku bermanja selama beberapa minggu,membuat  segalanya memasrahkan padaku. Mulai dari makan, ke kamar mandi,hingga menyalakan tv, semua dengan bantuanku. Meskipun begitu, rasa canggung itu tetap masih menguasai atmosfer rumah kami. Suamiku masih dingin, tanpa ampun, meski sesekali sempat mengeluh. Hingga waktu membawa kami pada suasana yang tak kunjung bersemi, kau menunjukkan kemajuan pada kesembuhan kakimu.

Sejak 2 hari yang lalu, seiring keadaanmu yang kian membaik, entah mengapa segalanya tiba-tiba berubah. Kau mulai menghargaiku. Aku bahagia ketika coffee latte yang tersedu hangat di meja sebelah ranjang kami akhirnya kau seruput jua. Seperti hari ini, aku masih mengingat ekspresi ketika kau menyeruput dengan tenang sesaat kau bangun. Aku mengamatimu diam-diam di balik garis ruang sempit pintu kamar kita. Aku bahagia sejadi-jadinya. Terlebih saat kau juga lahap roti selai kacang yang kuhidangkan sebagai menu sarapan pagi ini. Kau sering minta ditemani berlatih berjalan meski hanya di ruang kecil rumah kami. Kau lebih banyak mengajakku berbincang meski dalam anggun dingin khas dirimu sejak awal. Ya, aku tetap mencintaimu mas, sayang semua kebersamaan ini hanyalah apa yang akan menjadi awal dari akhir  hubungan kita.

Aku masih memandangmu lekat-lekat. Sekali lagi, kucium keningmu dengan hangat, dan kupejamkan mata sesaat setelah memanjat doa." Tuhan, aku mencintainya"

Seminggu yang lalu, pagi-pagi sekali aku harus berangkat menuju kantor untuk menyelesaikan beberapa laporan yang semenjak kemarin kutinggalkan karena terlalu sering ijin pulang lebih awal.
"Mas tyo sudah sembuh, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Semua kebutuhan nutrisi juga telah kupersiapkan. Tak apalah kubiarkan dia sendiri hari ini." pekikku dalam hati.

Belum sampai menjelang sore, mas Tyo mengirim pesan singkat,
"Cepat pulang, jangan pulang malam-malam."
Oh.. suamiku, aku memang merindukan kata-kata seperti ini meski tak pernah secara live kutangkap dari tuturmu.
"Iya mas, mas sudah makan? Tadi pagi aku sudah siapkan sayur bayam untuk makan siang, jangan lupa makan ya mas. Sesegera mungkin aku akan pulang." balas singkatku.
Begitulah keseharian kami selama mas Tyo cuti. Kurasa dia mulai bosan seharian di rumah sendirian. Namun aku selalu memotivasinya bahwa dia akan segera pulih dan sehat kembali.

Hari ini mas Tyo sudah bisa berangkat bekerja seperti biasa. Kakinyapun sudah pulih meski belum sempurna. Seperti keadaan ruang cinta kami yang mulai dia sentuh namun tak jua menjadi sempurna. Dan seperti biasa, aku pula juga bekerja seperti biasa.

Pukul 16.00 WIB, sebuah dering membubarkan fokusku membaca artikel yang terpampang pada layar di hadapanku. Mas Tyo calling.
"Halo, iya mas.."
"Hari ini pulang jam berapa?"
"Jam 5 mas, seperti biasa. Ada apa? Mas baik-baik saja?"
"oh, iya, aku baik-baik saja. Baiklah, segeralah pulang."
"Iya mas, sampai ketemu nanti..."
Seketika mataku semakin giat membaca artikel agar segera terbaca dan terselesaikan. Hasrat untuk segera pulang semakin garang memburu segala pekerjaan untuk diselesaikan. Ehh, kenapa aku jadi bersemangat seperti ini ya??

Sesampainya di rumah, kulihat motor mas Tyo yang selama ini menginap di bengkel akibat kecelakaan kemaren sudah terparkir rapi di garasi kecil rumah kami. Setelah menyandingkan motorku sebelah motornya, aku masuk rumah dan mendapati suamiku sedang asyik menonton tv.
"Senang sekali sepertinya mas, nonton apa sih ??"
"Ini, lucu sekali, duduklah dan ikut nonton juga. Stand up comedy bikin ngakak penghilang penat."
Aku tersenyum dan sejurus kemudian duduk di sebelahnya. Kami berdua saling tertawa melihat dagelan sang komedian yang berusaha berunjuk gigi mengeluarkan semua potensi guyonan yang mereka miliki. Hingga tak terasa waktu kami lewati penuh tawa dan tayangan telah usai menyediakan watu lebih untuk kami tertawa bersama kembali. Tayangan kemudian kembali disi oleh serentetan iklan yang sibuk menawarkan produk-produk kecantikan.

Aku duduk dan melepaskan beban punggungku pada punggung sofa yang sedari tadi membopongku dengan ketawa-ketiwi. Saat itulah mas Tyo tiba-tiba meraih tanganku dan menggenggamnya erat, tanpa merubah posisi duduknya. Sebuah sentuhan yang mengejutkan yang kemudian berakhir dengan tatapannya yang lurus memandangku dengan khidmat. Aku masih terdiam, aku masih menerka apakah ini khayalan atau kenyataan. Kurasakan cengkeraman tangannya semakin kuat menggenggam seakan menjawab segala kebingungan yang ada dalam kepalaku. Aku masih tak merespons. Aku diam sediam-diamnya. Memandangnya sejenak, lalu tersenyum.
"Maafkan aku, maafkan aku telah melukai hatimu selama ini..." kata-kata mas Tyo yang membuyarkan kedungunguanku.
Masih dalam kebingungan, dia menarik tubuhku dan meyandarkan pada tubuhnya yang bidang nan lebar. Sungguh, jantung ini seakan mendapat serangan yang bisa meledak jika diteruskan. Namun mas Tyo merengkuhku lebih erat, memelukku penuh hangat.
"Maafkan aku,, maafkan aku Ar… Aku berjanji tak akan menyakitimu lagi,  aku berjanji akan memperbaiki diriku, memperbaiki pernikahan kita..."
"Mas Ty.." belum sempat kuucap, mas Tyo sudah menimpali kata-kataku
"Ar, kumohon jangan meninggalkanku... Jangan pergi dariku…Jangan berpisah denganku... "
Sejenak perasaanku lumat oleh kelu lidahku yang beku. Bagaimana bisa mas Tyo berkata-kata seperti itu? Darimana dia tau bahwa aku memang berencana untuk menggugat cerai darinya??
"Beberapa waktu lalu saat kau pergi bekerja, aku duduk dan membaca-baca artikel yang ada di meja kerjamu. Karena jenuh, aku membuka laptopmu dan melihat-lihat game apa yang bisa kumainkan di sana. Saat itu aku melihat catatan harianmu. Aku mulai membacanya satu persatu dan mengetahui segala perasaanmu padaku. Perasaan tulusmu mencintaiku selama ini, menyayangiku dalam kasih dan kesabaranmu selama ini, meski aku sama sekali tak menghiraukanmu. Sungguh, aku tak mengira kau bisa sesabar itu menghadapiku. Aku yang kejam, aku yang dingin, aku yang keji dan bejat untuk kau miliki. Sungguh aku begitu hina, bagaimana bisa kau mencintaku sedalam itu?"
Tak sanggup menjawab kata-katanya, akupun mulai meneteskan air mata.
"Selama ini aku tak pernah menganggapmu sebagai istri. Aku bahkan masih berhubungan dengan kekasih lamaku. Aku telah menyakitimu sedalam ini, namun kau masih mengasihiku setulus cintamu. Tolong, hukum aku atas perbuatan hinaku padamu. Kau pukuli aku sekeras kau mau, aku bersedia melakukannya untukmu, aku bersedia  menanggungnya untuk mendapat maaf darimu."
Kami terdiam sesaat, sebelum mas Tyo kembali berkata-kata.
"Dan ketika aku melihat amplop coklat yang berisikan surat gugatan darimu, sungguh aku merasa bahwa aku memang tak pantas untukmu. Aku memang sungguh keterlaluan terhadap istriku sendiri. Seseorang yang seharusnya kukasihi malah kusakiti hingga habis kesabaran diri. Maafkan aku Ar… maafkan aku… kumohon, jangan tinggalkan aku..."

Aku yang masih terus mengalirkan air mata, mendengar isak tangis mas Tyo yang mulai melambatkan kata-kata maafnya. Dia memelukku semakin erat dan semakin erat, hingga aku berasa susah bernafas dan mencoba untuk bangun dari rengkuhannya.
Kupandang wajah suamiku yangmenunduk di hadapanku, dalam tangisannya, aku mencium keningnya,
"Aku memaafkanmu mas.., aku mencintaimu..."
Dagu yang tertutup kening itu akhirnya terlihat juga olehku. Mas Tyo memelukku lagi.
"Trimakasih Ar… aku berjanji akan membahagiakanmu mulai detik ini..."

Aku mencoba mengangguk dalam pelukannya. Dengan membalas rengkuhannya dan ku lingkarkan lenganku ke punggungnya. Perlahan mas Tyo melepas pelukannya, membiarkan aku bangkit dari tubuhnya. Ketika itu, sebuah kecupan mendarat di keningku. Aku mendongak, dan kulihat wajahnya semakin dekat hingga tak mampu kumelihat sekelilingku. Terdiam sesaat dalam buaian kecupan bibir kami untuk pertama kalinya. Saat itu aku merasa kami berada dalam sesaat keabadian.

Aku masih asyik dengan layar monitorku. Sesekali tersenyum dengan kebahagiaan yang telah kami alami hari ini. Malam yang kian larut, tak jua menyurutkan mataku untuk ikut larut. Sedangkan di sebelah mejaku, sesosok lelaki yang telah membangun asmara kami sudah mulai menelusuri alam bawah sadarnya. Aku tersenyum memandangnya. Sejenak kumatikan laptop dan berbaring mendekat dengannya. Masih seperti biasa, aku menyelimuti seluruh tubuhnya dan memastikan dia terjaga dalam pelukan hangat. Aku memandang wajahnya sebelum mencium keningnya seperti biasanya. Ketika kulepas kecupanku, sepasang mata terbelalak di hadapku,
"Aaah!! Kamu mengagetkanku saja… kamu belum tidur mas??"
"Jadi seperti ini kau mencuri keningku setiap malam??"
Aku memukulnya manja sambil sedikit menunduk malu karena kebiasaanku ini sudah terlanjur ketahuan olehnya.
"Karena kau sudah mencium dan memelukku secara diam-diam selama 2 tahun, ijinkan aku mencium dan memelukmu sepanjang malam setiap hari sepert ini"
Dia merengkuh tanganku dan menarik tubuhku hingga berada dalam pelukannya. Kami melewati malam ini  penuh kehangatan. Mengalahkan hangatnya coffee latte yang baru kusedu air panas dari panci setiap pagi. Dalam hangat pelukannya, aku menyadari dalam hati,
"Tuhan, kurasa aku telah menemukan balasan atas kesetiaan yang telah Kau ujikan. Trimakasih Tuhan"
 Dan sebuah awal bahagia dimulai dari sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar