Suasana hening
seiring berjalannya malam dalam dentang pukul 01.17 WIB yang kulirik dari jam
di hadapan. Tak adalagi suara riuh di rumah maupun di lingkungan sekitar.
Kurasa semua orang sudah terlelap dengan damainya. Hanya riuh jangkrik-jangkrik
yang asyik berpaduan suara yang menjadi backsound
malam ini. Sunyi dan sepi.
Kumatikan laptop
mungilku bersamaan dengan meneguk segelas air putih yang sedari tadi bertengger
gagah dimeja ku. Sambil menunggu sistemnya finish
menghentikan kinerja operasi sistemnya, kubuka kembali laci di sebelah kananku.
Kuamati lekat-lekat amplop coklat yang ada di sana. Lekat, setengah melamun,
sampai beberapa detik setelah sistem laptopku benar-benar telah mati sempurna.
Akankah esok hari kau akan keluar dari sana ??
Aku masih terjaga,
sambil memandangi seraut wajah yang berhadapan denganku. Dekat, terasa sangat
dekat. Mataku bahkan mampu menggali setiap pori-pori dan jentik-jentik komedo
dengan jeli. Seraut wajah yang manis. Seraut wajah yang tenang mengarungi nuansa
alam bawah sadar. Ya, alam bawah sadar, yang tanpa dia sadari bahwa aku selalu
menikmati pose.nya seperti ini. Aku
tersenyum, "Aku mencintaimu, mas..." Sejenak kemudian, lantas aku
rekatkan wajahku dengannya. Kukecup keningnya yang lebar. Pelan, dengan nafas
yang harus kutahan. Menjaga setiap gerak gerik diri ini agar tak ketahuan. Menjaga
tidurnya agar tak terusik dengan tingkah rahasia yang rutin kulakukan. Ya,
rahasia, dan suamiku tak pernah menyadarinya.
Entah mengapa mata
ini tak jua segera merapat dalam penat. Kubangunkan badanku dan berjalan keluar
kamar untuk berwudlu lalu menyimpuhkan segala peluhku hari ini padaMu. Di atas
sajadah yang terbentang, aku luapkan segala peluh dan keluh yang tersimpan. Seperti
menabung di bank, setiap harinya aku akan menitipkan segala curahan kepada Bank
Kehidupan. Mendepositkan semua kegalauan yang tak mampu kusimpan sendirian,
juga tak bisa sembarangan kutitipkan atau sekedar kubagi dengan orang lain. Ya,
hanya Tuhan yang mampu menjaga setiap tangis dan harapan ini. Hanya Dia
satu-satunya yang kupercaya menjaga setiap beban dan rahasia ini.
"Tuhan,
sanggupkan aku untuk melawan segala keraguan. Tunjukkan padaku kebaikan yang
harus kulakukan. Hindarkan aku dari luka penyesalan. Kuatkan aku Tuhan…
Mudahkanlah hari-hariku esok hari. Berikan kebahagiaan kepada suamiku setiap
hari. Aamiin. "
Kututup doa malam
ini dan kembali ke sisi lelap suamiku. Kubenahi selimut yang melilitnya,
kupastikan dia hangat dan terjaga dalam lelapnya. Ya, seperti itulah caraku
memeluknya. Selimut menjadi wali dekap kerinduan yang tak pernah tersampaikan.
Kupasrahkan kerinduan pada selimut yang membalutmu. Dan senyumku kembali
mengulas puas karena kau benar-benar telah berada dalam dekapanku. Dalam angan
ini terbersit kembali hari-hari yang akan kujalani setelah hari ini. Apakah
perpisahan kelak akan membuatku bahagia?? Membuatmu bahagia?? Atau malah
sebaliknya?? Kupejamkan kembali mata ini dan kuresapi segala timbang menimbang
dan resiko perpisahan.
"Kami belum
memiliki anak, jelas saja selama ini suamiku bahkan tak pernah menyentuhku.
Jadi tak ada yang akan menjadi korban dari perpisahan kami.", begitulah
gumamku untuk membulatkan tekad.
Terkadang suamiku
itu begitu kejam, meski tak melakukan apa-apa. Ya, tak melakukan apa-apa.
Karena dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Tanpa memandangku yang
senantiasa berada di sisinya. Ahh, seburuk apapun sikapmu padaku, aku tetap
mencintaimu mas… Kelak semoga kau menyadari itu. Namun sebelum kau
menyadarinya, besok adalah hari dimana aku harus mengeksekusi pernikahan kita.
Maafkan aku mas, aku tidak bisa membiarkanmu lebih lama terjebak dalam hubungan
kita ini. Meski aku sangat mencintaimu, meski kutau ini akan melukaiku.
Aku teringat,
hari-hari yang kulalui bersamamu selama kurang lebih dua tahun ini. Seperti
biasa, aku meletakkan cappucino latte di
samping tempat tidur kami, berharap ketika bangun, kau akan merasakan hangatnya
kopi kesukaan telah siap diseruput olehmu. Tak lupa, sarapan untukmu juga telah
kusiapkan di meja makan. Mulai dari roti selai kacang, hingga nasi goreng pedas
kesukaanmu seperti yang dikatakan ibu kepadaku.
"Tyo itu
penggemar masakan pedas nak, dia juga suka sekali sama roti yang di tengahnya
dilapisi selai kacang. Sejak SD sampai SMA, ibu selalu menyiapkan menu roti
selai kacang kesukaannya itu sebelum dia berangkat untuk belajar. Sesekali ibu
buatkan nasi goreng kala dia ingin menu lain. Terkadang dia juga membawa serta
rotinya ke sekolah jika terburu-buru mengejar waktu gara-gara dia bangun
kesiangan. Semenjak Tyo hidup sendiri ketika kuliah, barulah dia menjadi jarang
mendapatkan asupan roti selai kacang. Namun kecintaannya pada makanan tersebut
tak menghilang . Setiap kali dia pulang, setiap paginya pasti minta dibuatkan
roti selai kacang. Kadang juga saat dia akan kembali ke kota studinya, ibu
menyiapkan beberapa bungkus roti dan selai kacang untuk dibawa serta ke
perantauannya. Tyo itu begitu manis nak, semanis selai kacang
kesukaannya."
Memang, mas Tyo
memang manis. Semanis gula yang selalu kutambahkan dalam coffee latte.nya yang jika kuhitung setiap
hari tuangannya, bisa untuk membeli emas seberat 30 gram. Namun nasehat ibu
mertuaku itu selalu melekat di benakku. Aku akan menjaga anakmu bu, aku akan
bersabar dengannya.
Seperti
nasehat-nasehat ibu yang diberikan padaku sehari setelah kami menempati rumah
kami sendiri, ibu selalu mengingatkanku tentang kesukaan suamiku. Suamiku
adalah pecinta pedas, dan menggila selai kacang. Setiap kali ada selai kacang,
entah berpadu dengan roti atau tidak, dia mampu melahapnya dengan penuh gairah.
Seakan selai kacang adalah hidupnya.
Namun semua cerita
dan nasehat yang kudapat dari ibu, tidak pernah kulihat kenyataannya. Sekalipun
tidak. Suamiku tak pernah menyentuh masakanku, bahkan cappucino latte yang selalu ibu katakan bahwa itulah satu-satu
minuman kesukaannya, tak pernah sesruputpun dia teguk. Aku rasa, semua
seleranya telah dipaksanya berpindah kepadaku, karena setiap hari aku harus
meneguk cappucino latte.nya dan menelan
roti atau nasi goreng yang telah kupersiapkan untuknya. Agar tidak mubazir, aku
hanya memasak apa yang suamiku suka. Namun pada akhirnya, aku juga yang
memakannya, tanpa sedikitpun suamiku mencicipinya.
Itulah suamiku.
Seorang yang hidup denganku, seatap denganku, tidur seranjang denganku, namun
tak pernah menghidupkan ruang bahtera pernikahan kami. Seakan ini adalah
pernikahan yang tak diinginkannya, namun juga tak bisa dia menolaknya. Sungguh,
aku telah hidup selama 2 tahun dengan suami yang tak menganggapku. Aku seperti
hidup dengan suami autis, bisu, sekaligus rungu. Namun aku tetap mencintai
suamiku.
Karena dialah
suamiku. Dialah orang yang wajib kucintai dan kupatuhi meski tak pernah keluar
kata-kata atau isyarat apapun untuk kupatuhi darinya. Hanya setiap kali dia
mendapat gaji, dia akan menanyakan rekeningku dan mentransfer sebagian gajinya
ke rekeningku. Tak lupa, aku selalu menyatakan rasa terima kasihku kepadanya,
meski tak ada jawaban lain selain kebisuan darinya. Namun apapun yang suamiku
lakukan dan berikan, aku berusaha menjaga dan memanfaatkan sebaik-baiknya
amanah darinya. Betapapun dia mencampakku, betapapun dia menghiraukanku, namun
kutetap mencintainya. Karena inilah janjiku kepadaNya, mencintai kekasih
halalku.
Sikapnya yang acuh
inilah yang terkadang membuatku tak mengerti. Kenapa dulu dia bersedia
dijodohkan denganku jika pada akhirnya dia tak menghiraukanku. Kenapa dia
membiarkan dirinya terjebak dalam pernikahan yang seharusnya membuat hidup
setiap pasangan menjadi lengkap dan bahagia. Ah, ini hanya soal waktu, pikirku
di awal-awal pernikahan kami yang kusadari ada sedikit kejanggalan tentang
sikap suamiku. Namun seiring berjalannya waktu, tak kutemui juga kenapa
gerangan sikap suamiku ini begitu stagnan tanpa perubahan meski kucoba
mendekati hatinya.
Pernah suatu ketika,
saat pekerjaan mengharuskanku untuk tinggal di luar kota selama beberapa hari,
aku mempersiapkan menu dan masakan untuk suamiku dan menyimpannya dalam lemari
pendingin. Beberapa menu kupersiapkan dan untuk mengkonsumsinya tinggal dihangatkan
saja. Setiap hari, setiap pagi, siang dan malam, aku selalu mengingatkannya
untuk tidak lupa makan dan menghangatkan masakan yang telah kutinggalkan. Namun
seperti biasa, suamiku sering tak
membalas, atau hanya berkata "ya". Dan saat aku kembali
setelahnya, apa yang ada dalam almari pendingin tampak tak ada yang berpindah
tempat satu sisipun, bahkan tak ada yang berkurang. Alhasil, beberapa hari aku
yang mengakhiri nasib masakan kesukaanmu itu. Terkadang aku begitu membenci hal
ini. Namun aku tetap menelan setiap kebencian itu. Mengapa?? Karena aku
mencintai suamiku.
Aku teringat sekali
kapan kau memandangku sebagai istri, sebagai pendampingmu. Yaitu ketika seluruh
keluarga besar berkumpul saat lebaran. Kami memang tinggal di rumah kami
sendiri setelah menikah dan jauh dari masing-masing orang tua kami. Karena
pekerjaan mas Tyo di Jakarta yang tak bisa ditinggalkannya, membuatku harus
ikut turut juga tinggal di Jakarta bersamanya. Beruntung, aku masih bisa
mendapatkan pekerjaan sebagai editor di salah satu perusahaan Publisher di sini. Karena orang tua kami
tinggal di Jawa Timur, maka kami hanya akan sempat pulang ke kapung halaman
saat menjelang lebaran.
Di hadapan
keluargaku, di hadapan keluargamu, kau berpura seakan-akan kami hidup bahagia.
Kaupun tak jarang mengajakku berbincang bersama keluarga. Namun hal yang pahit
yang sempat kutelan mentah-mentah adalah saat tante Rini, adik ibu mertuaku,
selalu menanyakan hal yang berhubungan dengan kehamilan, dan aku hanya mampu
tersenyum kecil sambil mengatakan, "Mohon doanya tante". Saat itu
juga aku memandang suamiku, dan seperti biasa, dia tak akan ikut bicara. Ahh,
suamiku memang kejam.
Terkadang aku juga
berfikir tentang semua ini, apakah suamiku yang memang kejam, ataukah aku saja
yang terlalu bodoh?? Masih mau bersanding dengannya meski tak pernah
dianggapnya. Berulang-ulang aku memastikan apa jawabannya namun tetap saja
perasaan aku mencintaimu begitu membela hardiknya. Ya, aku mencintainya, itulah
yang membuatku terus bertahan hingga sekarang. Namun suatu kejadian telah
menamparku hingga aku benar-benar merasa kaku.
Sekitar 2 bulan yang
lalu, aku mendapati suamiku asyik bercengkrama dengan seorang wanita yang kutau
dia bukan rekan kerja atau pun relasinya. Saat itu tanpa sengaja kami ada di
sebuah kafe yang sama, aku sedang mencari inspirasi menulis dan memilih tempat
duduk di ujung pojok kafe tersebut. Dari bilik jendela besar yang memisah ruang
dalam dengan teras kafe tersebut, kudapati suamiku bersama wanita itu. Kulihat
tangannyapun mesra memegang tangan si wanita itu, mereka saling berbincang
akrab sekali dengan sesekali tertawa dengan entah apa yang mereka
perbincangkan. Sekejap, tanpa ucap, hatiku hancur sehancur-hancurnya.
Mungkinkah selama ini wanita itu yang dia cintai?? Mungkinkah selama ini dia
berhubungan dengan wanita itu?? Dan untuk pertama kali, aku menyerah dalam
pernikahan kami dan ingin bercerai dengannya.
Semenjak kejadian
itu, aku masih melayani suamiku seperti biasa, menyediakan coffee latte dan roti selai kacang
kesukaannya, masih mengirimkan pesan sekedar untuk mengingatkan makan siang
atau makan malam jika tak sempat makan di rumah. Masih setia mengingatkan untuk
berhati-hati di jalan saat perjalanan pulang. Aku masih melakukannya, aku masih
mencium keningnya saat lelap menguasainya dan memastikan dia hangat sepanjang
malam. Aku masih setia mendengar dengkurnya yang kadang menggelitik
konsentrasiku saat menulis. Ya, aku masih menjalani kewajibanku sebagai istri,
meski ini rasanya sakit sekali. Dan diam-diam pula aku memutuskan untuk
mengurus surat gugatan perceraian. Keputusan yang telah membulatkan tekadku
untuk mengakhiri hubungan yang terasa semu ini.
Satu hari sejak
gugatanku itu sudah berada di tangan, aku benar-benar gugup untuk
mendeklarasikan kepada orang yang telah menyakiti hatiku. Namun sesuatu di luar
dugaan terjadi kepada suamiku. Sebuah kecelakaan menimpanya dalam waktu yang
bersamaan ketika aku kembali ke rumah dari Kantor Urusan Agama, dan dia dari
kantornya. Handphoneku berdering selama perjalanan dan saat kutahu itu nomor
panggilan darinya, aku segera menganggatnya,
"Halo, mas Tyo
?"
"Maaf ibu,
benar saya bicara dengan istri pemilik handphone ini?"
"Iya benar,
saya istrinya" sahutku penuh tanya siapa gerangan orang yang berbicara di
balik lawan sambungan telepon itu yang tak kukenal sebagai suara pemilik nomor
ini.
"Maaf mas, ada
apa ya? Ini siapa?" sahutku kemudian
"Begini ibu,
saya dari Rumah Sakit Jaya Sehat, suami ibu baru saja mengalami kecelakaan dan
sekarang masih pingsan dirawat di UGD"
Astaghfirullah..
Seperti petir yang menyambar di siang bolong tanpa hujan, rasanya jantungku
ikut terhujam.
"Baik mas, saya
akan segera menuju ke sana, trimakasih" Lemas seketika merambati tubuhku
yang sedari tadi tak merasa capai sama sekali. Tiba-tiba saja tangan ini
gemetar untuk melajukan motor menuju rumah sakit itu.
"Ya Tuhan,
selamatkan suamiku… kumohon selamatkan dia Ya Tuhan..."
Aku segera berlari
menuju UGD setelah memarkir motor. Dengan doa-doa yang tak henti kuucap,
terbayang kengerian wajah suamiku yang penuh darah dan luka di
sini-sana."Ya Tuhan, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku", doaku
tanpa henti. Aku segera menuju ruangan dimana suamiku dirawat. Segera
kecemasanku ini menjadi sebuah kelegaan karena bayanganku tak terjadi sama
sekali kepada suamiku. Suamiku yang tertidur di sana masih terlihat sehat,
badannya masih utuh, hanya ada beberapa memar di kakinya. "Alhamdulillah,
Trimakasih Ya Tuhan.. Engkau menyelamatkan suamiku..." syukurku sambil
merengkuh dan mencium tangan suamiku.
Seketika aku mencium
keningnya kembali saat tersadar dari lamunan ini. Kulihat wajahnya masih utuh,
raganya tak ada yang tertinggal 1 pun. Hanya saja, keadaan kakinya yang sulit
untuk kembali berjalan normal akibat terjadi patah tulang. Ya, kecelakaan itu
membuat suamiku kesulitan berjalan. Bahkan, untuk sekedar berpindah tempat, aku
harus membopongnya untuk bisa menjangkau kemana arah yang ingin dia tuju.
Aku sempat melupakan
tentang keputusan perceraian yang seharusnya sudah kueksekusi beberapa minggu
yang lalu. Semua karena aku hanya fokus pada suamiku dan kepulihannya. Suamiku
memutuskan untuk cuti bekerja, dan istirahat total di rumah demi kesegeraan pemulihan
kakinya. Saat itu adalah saat-saat aku begitu dekat dengan suamiku. Aku merasa
benar-benar menjadi istrinya.
Semenjak insiden
tersebut, yang mengharuskan kaki suamiku bermanja selama beberapa
minggu,membuat segalanya memasrahkan
padaku. Mulai dari makan, ke kamar mandi,hingga menyalakan tv, semua dengan
bantuanku. Meskipun begitu, rasa canggung itu tetap masih menguasai atmosfer
rumah kami. Suamiku masih dingin, tanpa ampun, meski sesekali sempat mengeluh.
Hingga waktu membawa kami pada suasana yang tak kunjung bersemi, kau
menunjukkan kemajuan pada kesembuhan kakimu.
Sejak 2 hari yang
lalu, seiring keadaanmu yang kian membaik, entah mengapa segalanya tiba-tiba
berubah. Kau mulai menghargaiku. Aku bahagia ketika coffee latte yang tersedu hangat di meja sebelah ranjang kami
akhirnya kau seruput jua. Seperti hari ini, aku masih mengingat ekspresi ketika
kau menyeruput dengan tenang sesaat kau bangun. Aku mengamatimu diam-diam di
balik garis ruang sempit pintu kamar kita. Aku bahagia sejadi-jadinya. Terlebih
saat kau juga lahap roti selai kacang yang kuhidangkan sebagai menu sarapan
pagi ini. Kau sering minta ditemani berlatih berjalan meski hanya di ruang
kecil rumah kami. Kau lebih banyak mengajakku berbincang meski dalam anggun
dingin khas dirimu sejak awal. Ya, aku tetap mencintaimu mas, sayang semua
kebersamaan ini hanyalah apa yang akan menjadi awal dari akhir hubungan kita.
Aku masih
memandangmu lekat-lekat. Sekali lagi, kucium keningmu dengan hangat, dan
kupejamkan mata sesaat setelah memanjat doa." Tuhan, aku
mencintainya"
…
Seminggu yang lalu,
pagi-pagi sekali aku harus berangkat menuju kantor untuk menyelesaikan beberapa
laporan yang semenjak kemarin kutinggalkan karena terlalu sering ijin pulang
lebih awal.
"Mas tyo sudah
sembuh, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Semua kebutuhan nutrisi juga telah
kupersiapkan. Tak apalah kubiarkan dia sendiri hari ini." pekikku dalam
hati.
Belum sampai
menjelang sore, mas Tyo mengirim pesan singkat,
"Cepat pulang,
jangan pulang malam-malam."
Oh.. suamiku, aku
memang merindukan kata-kata seperti ini meski tak pernah secara live kutangkap dari tuturmu.
"Iya mas, mas
sudah makan? Tadi pagi aku sudah siapkan sayur bayam untuk makan siang, jangan
lupa makan ya mas. Sesegera mungkin aku akan pulang." balas singkatku.
Begitulah keseharian
kami selama mas Tyo cuti. Kurasa dia mulai bosan seharian di rumah sendirian.
Namun aku selalu memotivasinya bahwa dia akan segera pulih dan sehat kembali.
…
Hari ini mas Tyo
sudah bisa berangkat bekerja seperti biasa. Kakinyapun sudah pulih meski belum
sempurna. Seperti keadaan ruang cinta kami yang mulai dia sentuh namun tak jua
menjadi sempurna. Dan seperti biasa, aku pula juga bekerja seperti biasa.
Pukul 16.00 WIB,
sebuah dering membubarkan fokusku membaca artikel yang terpampang pada layar di
hadapanku. Mas Tyo calling.
"Halo, iya
mas.."
"Hari ini
pulang jam berapa?"
"Jam 5 mas,
seperti biasa. Ada apa? Mas baik-baik saja?"
"oh, iya, aku
baik-baik saja. Baiklah, segeralah pulang."
"Iya mas,
sampai ketemu nanti..."
Seketika mataku
semakin giat membaca artikel agar segera terbaca dan terselesaikan. Hasrat
untuk segera pulang semakin garang memburu segala pekerjaan untuk diselesaikan.
Ehh, kenapa aku jadi bersemangat seperti ini ya??
Sesampainya di
rumah, kulihat motor mas Tyo yang selama ini menginap di bengkel akibat
kecelakaan kemaren sudah terparkir rapi di garasi kecil rumah kami. Setelah
menyandingkan motorku sebelah motornya, aku masuk rumah dan mendapati suamiku
sedang asyik menonton tv.
"Senang sekali
sepertinya mas, nonton apa sih ??"
"Ini, lucu
sekali, duduklah dan ikut nonton juga. Stand up
comedy bikin ngakak penghilang penat."
Aku tersenyum dan
sejurus kemudian duduk di sebelahnya. Kami berdua saling tertawa melihat
dagelan sang komedian yang berusaha berunjuk gigi mengeluarkan semua potensi
guyonan yang mereka miliki. Hingga tak terasa waktu kami lewati penuh tawa dan
tayangan telah usai menyediakan watu lebih untuk kami tertawa bersama kembali.
Tayangan kemudian kembali disi oleh serentetan iklan yang sibuk menawarkan
produk-produk kecantikan.
Aku duduk dan
melepaskan beban punggungku pada punggung sofa yang sedari tadi membopongku
dengan ketawa-ketiwi. Saat itulah mas Tyo tiba-tiba meraih tanganku dan
menggenggamnya erat, tanpa merubah posisi duduknya. Sebuah sentuhan yang
mengejutkan yang kemudian berakhir dengan tatapannya yang lurus memandangku
dengan khidmat. Aku masih terdiam, aku masih menerka apakah ini khayalan atau
kenyataan. Kurasakan cengkeraman tangannya semakin kuat menggenggam seakan
menjawab segala kebingungan yang ada dalam kepalaku. Aku masih tak merespons.
Aku diam sediam-diamnya. Memandangnya sejenak, lalu tersenyum.
"Maafkan aku,
maafkan aku telah melukai hatimu selama ini..." kata-kata mas Tyo yang
membuyarkan kedungunguanku.
Masih dalam
kebingungan, dia menarik tubuhku dan meyandarkan pada tubuhnya yang bidang nan
lebar. Sungguh, jantung ini seakan mendapat serangan yang bisa meledak jika
diteruskan. Namun mas Tyo merengkuhku lebih erat, memelukku penuh hangat.
"Maafkan aku,,
maafkan aku Ar… Aku berjanji tak akan menyakitimu lagi, aku berjanji akan memperbaiki diriku,
memperbaiki pernikahan kita..."
"Mas Ty.."
belum sempat kuucap, mas Tyo sudah menimpali kata-kataku
"Ar, kumohon
jangan meninggalkanku... Jangan pergi dariku…Jangan berpisah denganku... "
Sejenak perasaanku
lumat oleh kelu lidahku yang beku. Bagaimana bisa mas Tyo berkata-kata seperti
itu? Darimana dia tau bahwa aku memang berencana untuk menggugat cerai
darinya??
"Beberapa waktu
lalu saat kau pergi bekerja, aku duduk dan membaca-baca artikel yang ada di
meja kerjamu. Karena jenuh, aku membuka laptopmu dan melihat-lihat game apa yang bisa kumainkan di sana. Saat itu
aku melihat catatan harianmu. Aku mulai membacanya satu persatu dan mengetahui
segala perasaanmu padaku. Perasaan tulusmu mencintaiku selama ini, menyayangiku
dalam kasih dan kesabaranmu selama ini, meski aku sama sekali tak
menghiraukanmu. Sungguh, aku tak mengira kau bisa sesabar itu menghadapiku. Aku
yang kejam, aku yang dingin, aku yang keji dan bejat untuk kau miliki. Sungguh
aku begitu hina, bagaimana bisa kau mencintaku sedalam itu?"
Tak sanggup menjawab
kata-katanya, akupun mulai meneteskan air mata.
"Selama ini aku
tak pernah menganggapmu sebagai istri. Aku bahkan masih berhubungan dengan
kekasih lamaku. Aku telah menyakitimu sedalam ini, namun kau masih mengasihiku
setulus cintamu. Tolong, hukum aku atas perbuatan hinaku padamu. Kau pukuli aku
sekeras kau mau, aku bersedia melakukannya untukmu, aku bersedia menanggungnya untuk mendapat maaf
darimu."
Kami terdiam sesaat,
sebelum mas Tyo kembali berkata-kata.
"Dan ketika aku
melihat amplop coklat yang berisikan surat gugatan darimu, sungguh aku merasa
bahwa aku memang tak pantas untukmu. Aku memang sungguh keterlaluan terhadap
istriku sendiri. Seseorang yang seharusnya kukasihi malah kusakiti hingga habis
kesabaran diri. Maafkan aku Ar… maafkan aku… kumohon, jangan tinggalkan
aku..."
Aku yang masih terus
mengalirkan air mata, mendengar isak tangis mas Tyo yang mulai melambatkan
kata-kata maafnya. Dia memelukku semakin erat dan semakin erat, hingga aku
berasa susah bernafas dan mencoba untuk bangun dari rengkuhannya.
Kupandang wajah
suamiku yangmenunduk di hadapanku, dalam tangisannya, aku mencium keningnya,
"Aku
memaafkanmu mas.., aku mencintaimu..."
Dagu yang tertutup
kening itu akhirnya terlihat juga olehku. Mas Tyo memelukku lagi.
"Trimakasih Ar…
aku berjanji akan membahagiakanmu mulai detik ini..."
Aku mencoba
mengangguk dalam pelukannya. Dengan membalas rengkuhannya dan ku lingkarkan
lenganku ke punggungnya. Perlahan mas Tyo melepas pelukannya, membiarkan aku
bangkit dari tubuhnya. Ketika itu, sebuah kecupan mendarat di keningku. Aku
mendongak, dan kulihat wajahnya semakin dekat hingga tak mampu kumelihat
sekelilingku. Terdiam sesaat dalam buaian kecupan bibir kami untuk pertama
kalinya. Saat itu aku merasa kami berada dalam sesaat keabadian.
…
Aku masih asyik
dengan layar monitorku. Sesekali tersenyum dengan kebahagiaan yang telah kami
alami hari ini. Malam yang kian larut, tak jua menyurutkan mataku untuk ikut
larut. Sedangkan di sebelah mejaku, sesosok lelaki yang telah membangun asmara
kami sudah mulai menelusuri alam bawah sadarnya. Aku tersenyum memandangnya.
Sejenak kumatikan laptop dan berbaring mendekat dengannya. Masih seperti biasa,
aku menyelimuti seluruh tubuhnya dan memastikan dia terjaga dalam pelukan
hangat. Aku memandang wajahnya sebelum mencium keningnya seperti biasanya.
Ketika kulepas kecupanku, sepasang mata terbelalak di hadapku,
"Aaah!! Kamu
mengagetkanku saja… kamu belum tidur mas??"
"Jadi seperti
ini kau mencuri keningku setiap malam??"
Aku memukulnya manja
sambil sedikit menunduk malu karena kebiasaanku ini sudah terlanjur ketahuan
olehnya.
"Karena kau
sudah mencium dan memelukku secara diam-diam selama 2 tahun, ijinkan aku
mencium dan memelukmu sepanjang malam setiap hari sepert ini"
Dia merengkuh
tanganku dan menarik tubuhku hingga berada dalam pelukannya. Kami melewati
malam ini penuh kehangatan. Mengalahkan
hangatnya coffee latte yang baru kusedu
air panas dari panci setiap pagi. Dalam hangat pelukannya, aku menyadari dalam
hati,
"Tuhan, kurasa
aku telah menemukan balasan atas kesetiaan yang telah Kau ujikan. Trimakasih
Tuhan"
Dan sebuah awal bahagia dimulai dari sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar