Selasa, 26 Juli 2016

Surat Untuk Dion


Jalanan mulai sepi. Suara-suara jangkrik bergeming ringkih satu sama lain, saling menyahut. Udara dingin menyeruak masuk ke dalam kamar. Angin semilir menyapa melalui jendela yang sengaja dibuka lebar. Aku butuh udara segar.
Bintang-bintang terlihat anggun memandangku dari kejauhan. Berkelap-kelip seakan memamerkan indah penoramanya. Sedangkan matahari telah genap bersembunyi, menyinari bagian bumi yang lain. Cayahanya digantikan oleh lentera-lentera jalanan, juga gempita jutaan bintang. Tunggu, ada rembulan yang malu-malu menampakkan diri. Perlahan muncul dari gumpalan awan hitam. Indah, purnama yang sempurna bagi malam yang dirundung kesepian ditinggal keceriaan sang matahari.

Aku masih menatap langit yang tak lagi biru seperti siang tadi. Gelap, secercah cahaya bulan membuat lengang langit malam. Kerlip bintang-bintang seolah berbicara, 'kau tak sendirian, sayang'.

Aku menatap kembali jalanan dari jendela kamar, dari lantai dua tempat bangunan ini berdiri. Sepi. Sunyi. Hanya suara serangga-serangga yang ramai berisik seperti reuni. Aku menatap mejaku lamat-lamat. Secarik kertas putih masih terletak di sana. Lengkap dengan sebuah pena yang diam membisu. Setia menunggu tuannya mengayunkan tangan, mengguritkan tinta kepada kertas, kekasihnya.

Di sebelahnya, sebuah surat teronggok membisu. Bekas lipatannya masih tergaris sempurna, mengingatkan bahwa surat itu tlah tersimpan lama tanpa terbuka. Dari tempatku berdiri, aku meraih surat itu perlahan, kembali membacanya sekali lagi.

Nama yang tertulis di sana, kembali mencekatkan kerinduan. Air anak mata mulai leleh menggenang. Siap tumpah 5 detik kemudian.

******
To : Amira Shine

Hai Amira, apa kabarmu di sana? Semoga kau selalu ceria, selalu sehat, selalu cerdas seperti biasa, dan selalu cantik seperti Amira yang aku ingat.
Maafkan aku yang selama 3 tahun ini tak sempat memberimu kabar. Sekolah di luar negeri membuatku sibuk hingga tak ada waktu untuk libur sejenak. Aku bahkan berulang-ulang jatuh sakit. Tapi aku yakin kau selalu mendoakanku. Bukankah begitu Amira?
Hingga akhirnya aku bisa menuliskan surat ini meski harus mencuri-curi waktu di sela-sela kerjaanku.
Amira, aku tak akan bercerita banyak kepadamu. Tak ada cukup waktu untuk bercerita semua kehidupanku sekarang ini. Aku hanya akan memberimu sebuah kabar, bahwa tahun depan aku akan kembali ke negara kita, ke kota kita. Pada saat aku kembali nanti, aku akan segera meminangmu, Amira. Maukah kau menungguku sebentar lagi?

Yang selalu merindukanmu,
Dion Matera
******

"Apa yang harus aku jawab dari surat ini? Apa yang harus aku tuliskan kepadamu, Dion?" hatiku merengek pasrah diiringi tetesan air yang jatuh singgah tertahan di kertas yang kugenggam. Menggenapkan seluruh luka yang tersimpan lama. Tentang kerinduan. Tentang kenangan-kenangan kebersamaan yang kembali hadir dalam ingatan. Tentang perpisahan.

Tiada kabar dari Dion, tiada kepastian yang ia titipkan. Aku menunggu 3 tahun tanpa melawan. Sampai akhirnya seseorang datang berani meminang. Seseorang yang kukenal lama, Dion juga mengenalnya. Lantas ayah dan ibu memberi restu, aku didesak untuk tak lagi mengharapkanmu. Ya, memang benar, logika manapun akan setuju. Untuk apa menunggu sebuah ketidakpastian? Akupun mneyerah. Menerima pinangan itu. Dan kami, akan menikah. Besok.

Surat ini mendarat di rumahku seminggu lalu. Membawa kabar yang seharusnya datang sebelum sebulan, kabar yang sebenarnya ingin kudengar, selama 3 tahun belakang. Namun semua terjadi begitu saja. Semua terasa tak tepat waktu. Entah apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan dengan mengatur jalan ini begitu melelahkan. Seperti ingin mempermainkanku layaknya anak kecil yang mudah untuk digoda. Tapi aku sadar, apa yang bisa kubuat jika Dia yang berkehendak? Dan aku, menelan pahit kesetiaanku padamu.

Aku tak mungkin membatalkan pernikahan ini. Aku tak ingin terjebak dalam ketidakpastian 1 tahun ke depan dengan adanya surat ini. Aku yang masih mengingat bagaimana raut wajahmu, manis senyummu, memilih untuk tak terpaut lagi. Suara-suara burung hantu membuatku tegar sejenak. Aku menganggat dagu dan menatap langit yang gelap. Bukan, langit tak pernah gelap karena ada bulan dan bintang di sana. Dan di sisi ruang hatiku yang gelap masih ada setitik cinta. Yang perlahan tumbuh saat Riga datang mengenalkan sebuah rasa. Kenyamanan, kepercayaan, dan kepastian. Aku akan membalas suratmu dan mengatakan yang sebenarnya.

Meski pertahanan ini sudah kubuat kokoh, bibirku masih terasa kelu untuk mengucap. Apa yang akan kutuliskan padamu, Dion? Tanganku terasa kaku bahkan sebelum aku menuliskan apapun. Membuat pena terlalu lama menunggu keputusan tuannya. Dan malam ini, aku menggenapkan seluruh tekad untuk menuliskannya.

Dinginnya malam kian menusuk tulang yang tersengguk oleh tangis kepiluan. Aku kembali ke meja. Duduk dengan tenang, mempersipkan hati dan pikiran. Menatap kembali kertas putih yang siap tergores sedari tadi. Kugenggam pena perlahan. Aku memejam sekejap, mengambil nafas panjang, mengusap sisa-sisa tangis. Aku menulis mantap.

******
To: Dion Matera

Hai Dion, trimakasih atas surat yang telah kau kirimkan. Aku sudah membacanya. Kabarku baik sekali Dion, karena aku sedang bahagia. Besok adalah hari pernikahanku.

Maafkan aku Dion, maaf karena aku tak bisa menunggumu. Sejak kau tak pergi dan tak memberiku kabar selama 3 tahun ini membuatku bimbang atas kehadiranmu, meskipun aku selalu merasa kau 'mungkin' juga merindukanku. Tapi Dion, tak semua harapan yang kita bangun bisa sesuai dengan kenyataan yang Tuhan berikan. Tak setiap hal yang baik menurut kita akan berlaku baik juga bagi Sang Pencipta, hingga Dia akan membuat jalan yang berbeda dari harapan kita.

Aku memang mencintaimu, Dion. Tapi itu dulu, sebelum Riga mendatangiku dan meminangku sebulan lalu. Mengapa aku bisa semudah itu berpaling darimu? Jawabnya mudah saja Dion, karena kau tak ada di sini, kau tak memberi kabar apapun, kau tak memberi kepastian yang mampu membuatku tenang. Tapi aku tak menyalahkanmu, Dion. Aku percaya bahwa ini adalah cara Tuhan memisahkan kita dan mendekatkan kita kepada kekasih sejati kita yang sebenarnya. Dan aku percaya, kau akan memaafkanku atas kabar yang saat ini mungkin akan membuat hatimu pilu. Sekali lagi, maafkan aku.

Dion, saat kau kembali ke negara ini, kau mungkin akan menjumpaiku tak lagi sendiri. Saat itu, aku harap kau juga telah menemukan kekasih sejatimu. Aku dan Riga pasti akan bahagia. Dan aku, akan selalu mendoakan kebahagiaanmu juga. Semoga kau akan segera menemukan penggantiku. Menemukan kekasih sejatimu.

Salam
Amira Shine
*******

Tetes terakhir tangisan memberi ketegaran dalam benak diri. Aku telah memilih, aku telah memutuskan. Malam semakin larut, turut melarutkan perasaan. Bersamaan kulipat surat ini, sebuah janji terpatri di hati. Tangisan ini untuk yang terakhir kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar