Jalanan
mulai sepi. Suara-suara jangkrik bergeming ringkih satu sama lain, saling
menyahut. Udara dingin menyeruak masuk ke dalam kamar. Angin semilir menyapa
melalui jendela yang sengaja dibuka lebar. Aku butuh udara segar.
Aku
masih menatap langit yang tak lagi biru seperti siang tadi. Gelap, secercah
cahaya bulan membuat lengang langit malam. Kerlip bintang-bintang seolah
berbicara, 'kau tak sendirian, sayang'.
Aku
menatap kembali jalanan dari jendela kamar, dari lantai dua tempat bangunan ini
berdiri. Sepi. Sunyi. Hanya suara serangga-serangga yang ramai berisik seperti
reuni. Aku menatap mejaku lamat-lamat. Secarik kertas putih masih terletak di
sana. Lengkap dengan sebuah pena yang diam membisu. Setia menunggu tuannya
mengayunkan tangan, mengguritkan tinta kepada kertas, kekasihnya.
Di
sebelahnya, sebuah surat teronggok membisu. Bekas lipatannya masih tergaris
sempurna, mengingatkan bahwa surat itu tlah tersimpan lama tanpa terbuka. Dari
tempatku berdiri, aku meraih surat itu perlahan, kembali membacanya sekali
lagi.
Nama
yang tertulis di sana, kembali mencekatkan kerinduan. Air anak mata mulai leleh
menggenang. Siap tumpah 5 detik kemudian.
******
To :
Amira Shine
Hai
Amira, apa kabarmu di sana? Semoga kau selalu ceria, selalu sehat, selalu
cerdas seperti biasa, dan selalu cantik seperti Amira yang aku ingat.
Maafkan
aku yang selama 3 tahun ini tak sempat memberimu kabar. Sekolah di luar negeri
membuatku sibuk hingga tak ada waktu untuk libur sejenak. Aku bahkan
berulang-ulang jatuh sakit. Tapi aku yakin kau selalu mendoakanku. Bukankah
begitu Amira?
Hingga
akhirnya aku bisa menuliskan surat ini meski harus mencuri-curi waktu di
sela-sela kerjaanku.
Amira,
aku tak akan bercerita banyak kepadamu. Tak ada cukup waktu untuk bercerita
semua kehidupanku sekarang ini. Aku hanya akan memberimu sebuah kabar, bahwa
tahun depan aku akan kembali ke negara kita, ke kota kita. Pada saat aku
kembali nanti, aku akan segera meminangmu, Amira. Maukah kau menungguku
sebentar lagi?
Yang
selalu merindukanmu,
Dion
Matera
******
"Apa
yang harus aku jawab dari surat ini? Apa yang harus aku tuliskan kepadamu,
Dion?" hatiku merengek pasrah diiringi tetesan air yang jatuh singgah
tertahan di kertas yang kugenggam. Menggenapkan seluruh luka yang tersimpan
lama. Tentang kerinduan. Tentang kenangan-kenangan kebersamaan yang kembali
hadir dalam ingatan. Tentang perpisahan.
Tiada
kabar dari Dion, tiada kepastian yang ia titipkan. Aku menunggu 3 tahun tanpa
melawan. Sampai akhirnya seseorang datang berani meminang. Seseorang yang
kukenal lama, Dion juga mengenalnya. Lantas ayah dan ibu memberi restu, aku
didesak untuk tak lagi mengharapkanmu. Ya, memang benar, logika manapun akan
setuju. Untuk apa menunggu sebuah ketidakpastian? Akupun mneyerah. Menerima
pinangan itu. Dan kami, akan menikah. Besok.
Surat
ini mendarat di rumahku seminggu lalu. Membawa kabar yang seharusnya datang
sebelum sebulan, kabar yang sebenarnya ingin kudengar, selama 3 tahun belakang.
Namun semua terjadi begitu saja. Semua terasa tak tepat waktu. Entah apa yang
sebenarnya diinginkan Tuhan dengan mengatur jalan ini begitu melelahkan.
Seperti ingin mempermainkanku layaknya anak kecil yang mudah untuk digoda. Tapi
aku sadar, apa yang bisa kubuat jika Dia yang berkehendak? Dan aku, menelan
pahit kesetiaanku padamu.
Aku tak
mungkin membatalkan pernikahan ini. Aku tak ingin terjebak dalam ketidakpastian
1 tahun ke depan dengan adanya surat ini. Aku yang masih mengingat bagaimana
raut wajahmu, manis senyummu, memilih untuk tak terpaut lagi. Suara-suara
burung hantu membuatku tegar sejenak. Aku menganggat dagu dan menatap langit
yang gelap. Bukan, langit tak pernah gelap karena ada bulan dan bintang di
sana. Dan di sisi ruang hatiku yang gelap masih ada setitik cinta. Yang
perlahan tumbuh saat Riga datang mengenalkan sebuah rasa. Kenyamanan,
kepercayaan, dan kepastian. Aku akan membalas suratmu dan mengatakan yang
sebenarnya.
Meski
pertahanan ini sudah kubuat kokoh, bibirku masih terasa kelu untuk mengucap.
Apa yang akan kutuliskan padamu, Dion? Tanganku terasa kaku bahkan sebelum aku
menuliskan apapun. Membuat pena terlalu lama menunggu keputusan tuannya. Dan
malam ini, aku menggenapkan seluruh tekad untuk menuliskannya.
Dinginnya
malam kian menusuk tulang yang tersengguk oleh tangis kepiluan. Aku kembali ke
meja. Duduk dengan tenang, mempersipkan hati dan pikiran. Menatap kembali
kertas putih yang siap tergores sedari tadi. Kugenggam pena perlahan. Aku
memejam sekejap, mengambil nafas panjang, mengusap sisa-sisa tangis. Aku
menulis mantap.
******
To: Dion
Matera
Hai
Dion, trimakasih atas surat yang telah kau kirimkan. Aku sudah membacanya.
Kabarku baik sekali Dion, karena aku sedang bahagia. Besok adalah hari
pernikahanku.
Maafkan
aku Dion, maaf karena aku tak bisa menunggumu. Sejak kau tak pergi dan tak
memberiku kabar selama 3 tahun ini membuatku bimbang atas kehadiranmu, meskipun
aku selalu merasa kau 'mungkin' juga merindukanku. Tapi Dion, tak semua harapan
yang kita bangun bisa sesuai dengan kenyataan yang Tuhan berikan. Tak setiap
hal yang baik menurut kita akan berlaku baik juga bagi Sang Pencipta, hingga
Dia akan membuat jalan yang berbeda dari harapan kita.
Aku
memang mencintaimu, Dion. Tapi itu dulu, sebelum Riga mendatangiku dan
meminangku sebulan lalu. Mengapa aku bisa semudah itu berpaling darimu?
Jawabnya mudah saja Dion, karena kau tak ada di sini, kau tak memberi kabar
apapun, kau tak memberi kepastian yang mampu membuatku tenang. Tapi aku tak
menyalahkanmu, Dion. Aku percaya bahwa ini adalah cara Tuhan memisahkan kita
dan mendekatkan kita kepada kekasih sejati kita yang sebenarnya. Dan aku
percaya, kau akan memaafkanku atas kabar yang saat ini mungkin akan membuat
hatimu pilu. Sekali lagi, maafkan aku.
Dion,
saat kau kembali ke negara ini, kau mungkin akan menjumpaiku tak lagi sendiri.
Saat itu, aku harap kau juga telah menemukan kekasih sejatimu. Aku dan Riga
pasti akan bahagia. Dan aku, akan selalu mendoakan kebahagiaanmu juga. Semoga
kau akan segera menemukan penggantiku. Menemukan kekasih sejatimu.
Salam
Amira
Shine
*******
Tetes
terakhir tangisan memberi ketegaran dalam benak diri. Aku telah memilih, aku
telah memutuskan. Malam semakin larut, turut melarutkan perasaan. Bersamaan
kulipat surat ini, sebuah janji terpatri di hati. Tangisan ini untuk yang
terakhir kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar