Rabu, 27 April 2016

Kadar Rasa Manusia


Hari ini seorang teman lama mengajakku ke kampung coklat. Ya,  sebuah daerah yang mana begitu tenar hingga sempat masuk ke tayangan televisi swasta di Indonesia. Meski tempat ini memiliki pamor yang menusantara, tapi ini pertama aklinya aku berkunjung ke sana. Temanku itu sudah beberapa kali ke sana. Kalau saja dia tak mengajakku, mungkin aku tak akan pernah mengunjungi  tempat itu. Bukan karena aku tak menyukai coklat, sungguh aku suka dengan olahan coklat. Namun yang membuat aku enggan ke sana adalah keramaian yang mungkin membuat aku tak nyaman. Ya, tentu aku bukanlah seorang yang suka dengan keramaian. Namanya juga anak rumahan, tak heran jika tak ada ketertarikan dengan dunia luar. Dunia luar atau luar dunia ya?? Ahhh....


Siang itu suasana masih sepi, mungkin karena baru buka. Pengunjungnya bahkan bisa dihitung dengan jari. Sesampai di sana, aku memesan mie coklat dan temanku memesan minuman coklat. Duduk berpayung pohon coklat, kami menikmati mi coklat dan es coklat. Beruntung aku tidak mengenakan pakaian serba coklat, bisa terlihat layaknya monster coklat penampakanku nanti, hehehe.

Sekitar 2jam kami menikmati pemandangan dan aroma serba coklat di kampung coklat. Sebelum pulang, kami mampir dulu ke toko oleh-oleh yang menyediakan segala olahan coklat hasil produksi kampung coklat. Berbagai macam kue dan olahan coklat ada di sana, mulai dari brownies, cookies, coklat bubuk untuk minuman, coklat kreasi, coklat rasa buah, dan salah satu yang membuatku menarik adalah coklat berkadar, yap, coklat dengan kadar coklat mulai dari 40%, 67%, 80%, 90%, hingga 100%. Sebuah meja dengan toples-toples kecil memenuhi luasannya, berisi tester dari produk tersebut. Aku mulai mencicipi satu-per satu terter yang tersedia. Mulai dari 100% cocoa yang pahitnya luar biasa, sungguh tak bersahabat dengan lidahku yang pecinta manis. Kemudian 80% cocoa yang masih juga kerasa pahit, dan 67% yang lumayan manis,seperti ada tambahan susu di dalamnya, mirip silver queen lah. Beda dengan temanku, dia malah doyan banget dengan 100%cocoa. Baginya, rasa pahit coklat tersebut terus terasa meski sudah tertelan tanpa tilas, dan bikin ketagihan. Bagiku, sama sekali tidak cocok dengan tekstur indra perasaku, malah seperti makan jamu dalam bentuk padat, pahit nyelekit. Tapi ya begitulah selera, masing-masing orang pasti berbeda.

Sambil menikmati coklat itu lantas aku berfikir, jika coklat saja memiliki kadar yang membuat setiap penikmat memiliki selera berbeda, lantas bagaimana dengan hati? Bukankah setiap manusia memiliki kadar hati yang berbeda pula. Memiliki kadar perasaan yang berbeda. Jika kadar coklat membuat rasanya  manis, ada yang pahit, ada yang sangat manis bahkan sangat pahit, begitupula dengan hati. Ada hati yang lembut, baik, buruk, hingga kejam.  Dan masing-masing dari kita memiliki peranan berbeda dalam menyikapinya. Ada yang berhati lembut, berhati kasar, berhati bajingan. Kalau saja kadar presentasi hati itu 100 persen, bukankah itu totalitas kemurnian hati yang manusia miliki? Yang didalamnya hanya terasa kelembutan, kebaikan, kebahagiaan, rasa peduli, dan cinta kasih. Bagaimana dengan kadar 67% ? Seperti coklat yang terasa kemurnian coklatnya dan dipadu dengan manisnya susu, mungkin hati berkadar 67% ini masih tersimpan sikap iri, dengki, atau bahkan suatu kepicikan atau empaty. Tapi pastinya itu hanya 33% saja, karena yang 67% adalah kemurnian hatinya. Lantas bagaimana dengan 80%, 90% serta 40% ?

Sungguh mungkin sengsara memiliki hati 40%. Bagaimana tidak? Kebaikan yang ia miliki hanya 40% dari kadar hatinya. Bukankah itu berarti 60% hatinya akan berisi kebencian, kedukaan, keburukan, kepicikan, serta ke-ke yang tidak menyenangkan tersebut akan menyelimuti ruang hatinya? Bagaimana bisa hidup damai dan bahagia dengan hati seperti ini?

Pun juga penikmat hati. Masing-masing kita punya selera. Ada yang mampu menerima kepahitan dengan lapang, ada yang menerima kepahitan dengan menolak mentah-mentah. Ada yang menerima kepahitan dengan berusaha menghilangkan rasa pahitnya. Ada yang menolak kepahitan diiringi sumpah serapah. Semua memang tergantung seberapa besar prosentasi kadar hati yang kita miliki.

Pahitnya coklat, jika memang hanya aku yang mampu merasakan, mungkin bisa dibilang ini keegoisan. Namun jika bukan hanya aku yang merasakan, bahkan adapula dari mereka juga ikut terlibat, maka ini yang telah menjadi kebiasaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar