Jumat, 13 Mei 2016

Alasanku Bahagia Tinggal di Desa


Aku adalah seorang anak yang lahir dan dibesarkan di sebuah desa. Jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, desaku bisa dibilang desa yang sempurna. Suasananya sangat cocok bagi tumbuh kembang anak-anak. Sosialisasi antar warga yang masih terjaga memberi pelajaran tentang arti kekeluargaan. Ditambah nuansa alam yang masih syarat dengan pemandangan pegunungan, sawah, pertanian.
Lengkap dengan kegiatan petaninya yang sedang 'matun' hingga panen menjadi bagian yang tak boleh terlewatkan. Dari sini aku belajar. Karena jasa petani, kita semua bisa makan nasi. Karena peluhnya, kita semua bisa memenuhi rontaan perut. Dan karena tanah desa ini, aku tak pernah khawatir tentang ancaman kelaparan.
Selain pertanian, hal yang tak asing di desa adalah peternakan. Mulai dari ayam, itik, kambing, sapi, hingga babi. Intinya, berbagai ciri khas pedesaan yang lengkap tersaji di desaku menjadi nilai plus tersendiri. Sungai yang mengalir dimana-mana, juga hutan yang masih menyediakan keindahan alam. Meskipun hutan kini tak lagi perawan, sebab ulah manusia yang kejam menelanjangi setiap arum pesonanya, menggerogoti setiap tulang rusuknya. Aku sedih, aku kecewa, namun aku tak mampu berbuat apa-apa. Satu hal yang kutahu, Tuhan telah berulang membalas perbuatannya. Mengadili setiap tindak tanduk keji manusia. Menghukum kami yang seharusnya membelanya dan melindungi kelestariannya dari ancaman tangan-tangan bergerigi. Aku  menyadari hukuman ini 12 tahun lalu. Kini aku hanya berharap, hutan masih mampu mempertahankan dirinya untuk tetap menjadi bagian keindahan yang memesona mata. Terutama untukku, yang mencintai nuansa hijaunya.

Semua pesona alam di desaku syarat dengan bukti Kekuasaan Tuhan. Jika kau ingin belajar apa artinya syukur, kau bisa datang ke desaku. Di sini kau bisa belajar untuk tadabur alam. Menjamah setiap ciptaan Tuhan yang tak bisa kau dapatkan di perkotaan. Dan aku, bangga menjadi bagiannya, bagian kecil dari sebuah desa yang telah membesarkan jiwa ragaku. Meskipun aku pernah 4 tahun merantau tinggal di kota besar untuk menuntut ilmu, aku tak pernah kehilangan selera untuk kembali ke desa. Keramahan orang-orang dan panggilan alamnya selalu kuat mendorongku untuk pulang. Kerinduan yang tak bisa kupulihkan saat tinggal di perkotaan.

Kini, setelah aku berumur 24 tahun, segalanya tak ada yang berubah. Siang ini, saat aku berangkat kerja, aku melewati sebuah sungai yang menghubungkan antara 2 bendungan di desaku, yang orang-orang sering menyebutnya 'parit'. Ada pemandangan menyenangkan saat aku melewatinya. Memaksaku untuk menghentingan laju motorku. Segerombolan anak-anak sedang berancang-ancang di pinggiran parit, dan "byur" mereka melompat bergantian ke sungai dengan wajah girang. Senyumku merekah menyaksikan tingkah anak-anak usia 8 tahun-an itu. Mereka berenang dan kembali ke daratan bersiap melompat ulang. Terik yang menyengat tak lagi mereka peduli. Biar mentari menggosongkan kulit ari, senyuman tak henti lekang dari wajah tanpa segan. Tertawa dalam bahasa yang mereka miliki. Aku menikmati panorama ini. Inilah alasanku ingin selamanya tinggal di desa. Pemandangan yang tak bisa kudapatikan di kota.

Hal-hal menyenangkan yang masih tetap terjaga hingga kini, masih bisa kunikmati. Nuansa padi menguning, masih dengan aktivitas 'matun' para petani, hingga gigihnya memanen padi. Rambut-rambut jambul yang menguncung diantara barisan tentara palawija, jagung adalah pemandangan hijau yang sedap di mata. Sungai-sungai yang ramai dengan cendaka anak-anak, musim layangan yang membuat mereka mengejar matahari, jumpritan, delik'an, serta olahraga "musiman" yang membuat mereka tak betah di dalam rumah. Juga berhujan-hujan saat desa diguyur air langit. Yang kadang membuatku sangat iri dengan mereka. Semua pemandangan ini hanya akan ditemukan di desa.

 Ya, aku bahagia sekaligus bangga dengan anak-anak di desa. Mereka memelihara kebersamaan di tengah jaman minim pergaulan sosial. Aku bahagia melihat mereka bermain-main bergerombolan. Melupakan gadget yang membawa ancaman merusak jiwa sosial. Tapi aku yakin, anak-anak di desa masih bisa menjaga kebersamaan. Mereka mengingatkanku akan masa kecil yang penuh dengan kebahagiaan bersama teman-teman. Masa-masa penuh "dosa" jenaka. Masa-masa menjadi diri sendiri seutuhnya. Bebas, lepas, tiada ambisi yang menguras hati. Tiada kekhawatiran yang berlebihan. Masa-masa penuh 'keajaiban', penuh kebahagiaan. Sekali lagi, aku ingin mengenangnya. Sekali lagi, aku ingin menikmati suasana itu.

Aku bersyukur terlahir di sebuah desa ini. Aku bahagia menjadi bagiannya. Aku bangga mengukir kenangan di sini. Semua ingatan ini seakan tak ingin hengkang dari memori. Berulang-ulang aku mendapati kembali masa-masa itu. Bernostalgia dengan kenangan. Kenangan yang tak layak terlupakan. Inilah alasan aku enggan untuk hengkang dari kampung halaman. Keindahan alam, kebersahajaan orang-orang, serta tanahnya yang berwibawa menciptakan ruang kebanggaan tersendiri. Aku, masih ingin berlama-lama tinggal di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar