Aku adalah seorang anak
yang lahir dan dibesarkan di sebuah desa. Jauh dari hiruk pikuk keramaian kota,
desaku bisa dibilang desa yang sempurna. Suasananya sangat cocok bagi tumbuh
kembang anak-anak. Sosialisasi antar warga yang masih terjaga memberi pelajaran
tentang arti kekeluargaan. Ditambah nuansa alam yang masih syarat dengan
pemandangan pegunungan, sawah, pertanian.
Lengkap dengan kegiatan petaninya
yang sedang 'matun' hingga panen menjadi bagian yang tak boleh terlewatkan.
Dari sini aku belajar. Karena jasa petani, kita semua bisa makan nasi. Karena
peluhnya, kita semua bisa memenuhi rontaan perut. Dan karena tanah desa ini,
aku tak pernah khawatir tentang ancaman kelaparan.
Selain
pertanian, hal yang tak asing di desa adalah peternakan. Mulai dari ayam, itik,
kambing, sapi, hingga babi. Intinya, berbagai ciri khas pedesaan yang lengkap
tersaji di desaku menjadi nilai plus tersendiri. Sungai yang mengalir
dimana-mana, juga hutan yang masih menyediakan keindahan alam. Meskipun hutan
kini tak lagi perawan, sebab ulah manusia yang kejam menelanjangi setiap arum
pesonanya, menggerogoti setiap tulang rusuknya. Aku sedih, aku kecewa, namun
aku tak mampu berbuat apa-apa. Satu hal yang kutahu, Tuhan telah berulang
membalas perbuatannya. Mengadili setiap tindak tanduk keji manusia. Menghukum
kami yang seharusnya membelanya dan melindungi kelestariannya dari ancaman
tangan-tangan bergerigi. Aku menyadari
hukuman ini 12 tahun lalu. Kini aku hanya berharap, hutan masih mampu
mempertahankan dirinya untuk tetap menjadi bagian keindahan yang memesona mata.
Terutama untukku, yang mencintai nuansa hijaunya.
Semua
pesona alam di desaku syarat dengan bukti Kekuasaan Tuhan. Jika kau ingin
belajar apa artinya syukur, kau bisa datang ke desaku. Di sini kau bisa belajar
untuk tadabur alam. Menjamah setiap ciptaan Tuhan yang tak bisa kau dapatkan di
perkotaan. Dan aku, bangga menjadi bagiannya, bagian kecil dari sebuah desa
yang telah membesarkan jiwa ragaku. Meskipun aku pernah 4 tahun merantau
tinggal di kota besar untuk menuntut ilmu, aku tak pernah kehilangan selera
untuk kembali ke desa. Keramahan orang-orang dan panggilan alamnya selalu kuat
mendorongku untuk pulang. Kerinduan yang tak bisa kupulihkan saat tinggal di
perkotaan.
Kini,
setelah aku berumur 24 tahun, segalanya tak ada yang berubah. Siang ini, saat
aku berangkat kerja, aku melewati sebuah sungai yang menghubungkan antara 2
bendungan di desaku, yang orang-orang sering menyebutnya 'parit'. Ada
pemandangan menyenangkan saat aku melewatinya. Memaksaku untuk menghentingan
laju motorku. Segerombolan anak-anak sedang berancang-ancang di pinggiran
parit, dan "byur" mereka melompat bergantian ke sungai dengan wajah
girang. Senyumku merekah menyaksikan tingkah anak-anak usia 8 tahun-an itu.
Mereka berenang dan kembali ke daratan bersiap melompat ulang. Terik yang
menyengat tak lagi mereka peduli. Biar mentari menggosongkan kulit ari,
senyuman tak henti lekang dari wajah tanpa segan. Tertawa dalam bahasa yang
mereka miliki. Aku menikmati panorama ini. Inilah alasanku ingin selamanya
tinggal di desa. Pemandangan yang tak bisa kudapatikan di kota.
Hal-hal
menyenangkan yang masih tetap terjaga hingga kini, masih bisa kunikmati. Nuansa
padi menguning, masih dengan aktivitas 'matun' para petani, hingga gigihnya
memanen padi. Rambut-rambut jambul yang menguncung diantara barisan tentara
palawija, jagung adalah pemandangan hijau yang sedap di mata. Sungai-sungai
yang ramai dengan cendaka anak-anak, musim layangan yang membuat mereka
mengejar matahari, jumpritan, delik'an, serta olahraga "musiman" yang
membuat mereka tak betah di dalam rumah. Juga berhujan-hujan saat desa diguyur
air langit. Yang kadang membuatku sangat iri dengan mereka. Semua pemandangan
ini hanya akan ditemukan di desa.
Ya, aku bahagia sekaligus bangga dengan
anak-anak di desa. Mereka memelihara kebersamaan di tengah jaman minim
pergaulan sosial. Aku bahagia melihat mereka bermain-main bergerombolan.
Melupakan gadget yang membawa ancaman merusak jiwa sosial. Tapi aku yakin,
anak-anak di desa masih bisa menjaga kebersamaan. Mereka mengingatkanku akan
masa kecil yang penuh dengan kebahagiaan bersama teman-teman. Masa-masa penuh
"dosa" jenaka. Masa-masa menjadi diri sendiri seutuhnya. Bebas,
lepas, tiada ambisi yang menguras hati. Tiada kekhawatiran yang berlebihan.
Masa-masa penuh 'keajaiban', penuh kebahagiaan. Sekali lagi, aku ingin
mengenangnya. Sekali lagi, aku ingin menikmati suasana itu.
Aku
bersyukur terlahir di sebuah desa ini. Aku bahagia menjadi bagiannya. Aku
bangga mengukir kenangan di sini. Semua ingatan ini seakan tak ingin hengkang
dari memori. Berulang-ulang aku mendapati kembali masa-masa itu. Bernostalgia
dengan kenangan. Kenangan yang tak layak terlupakan. Inilah alasan aku enggan
untuk hengkang dari kampung halaman. Keindahan alam, kebersahajaan orang-orang,
serta tanahnya yang berwibawa menciptakan ruang kebanggaan tersendiri. Aku,
masih ingin berlama-lama tinggal di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar