Minggu, 08 Mei 2016

Badai Yang Ditunggu Arini


Senja menampakkan elegi sore dengan begitu memesona. Semburat jingga cahayanya menyatu dengan garis batas langit dan laut pantai selatan. Panorama yang sempurna sebagai bukti kuasaNya. Deburan ombak masih setia mengiringi mentari pulang. Dan sebentar lagi, sang rembulan akan datang bersama kawanan bintang-bintang.



Desa Rengggono adalah suatu desa yang terletak di bibir pantai Selatan. Hamparan lautan yang menawan senantiasa menarik para pelancong untuk menikmati keindahannya. Di desa Renggono ada satu perkampungan kecil yang penduduknya tinggal tak jauh dari bibir pantai.Ssebagian penduduk lelakinya  adalah nelayan, sedangkan para istri menjual ikan di area pinggir pantai. Setiap hari, pantai ini tak pernah sepi. Hanya saja, ketika musim badai tiba, area pantai akan ditutup bagi wisatawan yang datang. Seluruh anggota perkampungan lantas mengungsi ke desa lain. Hal ini menjadi kebiasaan sejak bencana tsunami memeluluhlantakkan perkampungan mereka 5 tahun silam. Dan warga sempat merasa trauma, kini mulai terbiasa dengan musim mengungsi kala badai tiba. Terlebih lagi, alam tak pernah memberi peringatan kapan ia akan menumpahkan amarahnya pada manusia.

Arini, termenung di pinggir pantai menanti senja menyembunyikan bola cahayanya. Dipandanginya laut lepas yang kehilangan kebiruannya. Diraihnya buih-buih ombah yang menjamah kaki putihnya. Hanya berdiam, menatap tajam lautan yang tak kian menjawab kesunyian yang ia ajukan. Hingga langit menggelap, Arini masih terjaga dalam khusuk renungan.
"Arini… pulang nduk, wes maghrib" teriak ibunya dari teras rumah yang tak jauh dari bibir pantai.
Ditolehnya raut wajah ibu yang melambai-lambai dari teras rumah bambunya. Ia mengangguk. Sebelum beranjak, ia kembali menatap lautan.
"Badai, aku masih menunggumu."

Berjalanlah pelan Arini pulang. Bersama kenangan yang mengingatkan akan Pras, kekasihnya yang telah mati dilahap ombak tsunami 5 tahun silam. Juga ayahnya yang tak pernah kembali lagi semenjak pergi melaut dan terjadi badai 2 tahun lalu. Hingga sekarang, belum ada kabar. Bahkan, orang-orang yang ikut melaut bersamanya juga tak ada kabarnya.  Arini dan ibunya tak mampu berbuat apa-apa selain sabar menanti. Entah menanti kedatangan ayahnya pulang atau menanti berita tentang kematian. Namun 2 hal itu tak pernah ia dapatkan. Dan menunggu adalah satu-satunya jalan.

Sejak kecil, Arini sudah terbiasa dengan pantai dan deburan gelombang yang singgah di bibir pantai. Ia bagaikan sahabat karib yang setia menemani bermain saat masa kecil, juga Pras, sahabat masa kecil yang tumbuh menjadi kekasih sejak 10 tahun silam. Namun lambat laun, Arini mulai lelah dengan butiran ombak yang sejak kecil yang biasa menyapanya. Bisa-bisanya sebagai kawan tega merenggut orang-orang yang dicintainya. 

Teringat jelas saat tsunami itu datang 5 tahun silam. Ketika Arini dan Pras sedang duduk di pinggiran pantai bercengkrama membicarakan perihal masa depan mereka. Saat itu ayah dan ibunya sedang pergi ke desa sebelah untuk mencari tanggal yang baik untuk pernikahan meraka. Namun tanpa disangka-sangka, sebuah gempa kecil mengguncang perkampungan, yang disambut ombak bergemuruh seakan kehilangan kendali untuk mengenali sahabatnya sendiri. Perkampunganpun kian kocar kacir saat gemuruh kembali menggoyangkan bumi untuk kedua kalinya. Hingga saat semua tersadar, ombak besar dari lautan setinggi pohon kelapa mengejar kawanan manusia yang tak siap apa-apa. Menenggelamkan apapun yang terpahat di sana. Meluluhlantakkan para manusia, lapak dagangan mereka, juga rumah-rumah bambu yang menjadi pagar para ombak. Lautan tak lagi mengenal rumahnya. Amarahnya menggila tiba-tiba. Pras segera menggenggam tangan Arini berlari semampunya. Hingga keduanya kalap dalam air bah yang tak kuasa memendam amarah. Pras masih memegang erat kekasihnya. Entah apa yang terjadi ia terpisah dari Arini. Tak ada kata, tak ada lagi keramaian. Semua terjadi begitu cepat tanpa jeda untuk bertahan. Hingga raga terlelap mengikuti kemana arah takdir yang menentukan.

Saat terbangun dari tidurnya, Arini harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya tak akan pernah kembali lagi. Masa depan yang telah mereka musyawarahkan tak akan pernah menjadi kenyataan. Atau, kenyataanlah yang tak mengijinkan mereka mewujudkannya. Semua ini tak bisa Arini terima. Ia mengumpat dalam diri, ia menangis tersedu tanpa peduli. Untuk pertama kalinya, Arini memendam benci. Bukan kepada manusia, tapi kepada ombak yang telah merenggut separuh jiwanya. Merenggut rumahnya, merenggut orang-orang yang disayanginya.

Belum sembuh mengobati luka kehilangan Pras, Arini harus menerima kenyataan untuk kembali kehilangan untuk kedua kalinya. Ayahnya yang melaut dini hari tak pernah pulang hingga hari ini. Tak ada kabar, tak ada berita. Hanya ombak yang mampu menjawab pertanyaannya. Namun apa mau dikata, kebencian itu tumbuh lebih besar kepada ombak yang telah selama ini menjadi bagian hidupnya.

Semenjak ayahnya tak pernah kembali, Arini berubah menjadi seorang yang lebih banyak diam. Ia lebih sering merenung di pinggir pantai setiap hari. Menunggu badai menjawab pertanyaannya.

"nduk, ojo sering-sering ning pinggir laut, iki usume laut pasang, bahaya nduk" nasihat ibunya kala ia sampai di rumah. Ibu Arini tak pernah absen untuk mengingatkan anaknya tentang hal ini setiap kali musim badai tiba. Dan ia hanya mengangguk sambil tersenyum kecil kepada ibunya.

"Besok, kuharap kau datang menjawab tantanganku. Aku masih menunggumu." lirihnya dalam hati sambil memandang lautan dari bilik jendela kamar.

Seakan Tuhan mendengar pintanya. Dini hari, sebelum subuh mengumandangkan syair keagungan Sang Pencipta, orang-orang dari desa datang untuk mengabarkan bahwa perkampungan mereka sekarang tidak aman. Menurut badan klimatologi yang memantau kearifan pantai Renggono, akan terjadi tsunami lagi dalam waktu dekat ini. Semua orang dihimbau untuk segera  berkemas dan bergeggas menuju penampungan. Warga berbondong-bondong membawa segala harta berharga mereka untuk diamankan. Namun tidak dengan Arini. Ia hanya membawa dirinya tanpa barang bawaan. Ia ikuti kemana arah mobil-mobil yang membawa mereka manjauh dari perkampungan. Kawasan pantaipun terisolasi dari kegiatan apapun.

Hingga siang datang, tak ada tsunami yang datang seperti apa yang dikataan para petugas. Para warga bersyukur lega dan berharap tsunami itu hanya gejala alam saja, bukan kenyataan pada akhirnya. Namun tidak demikian dengan Arini. Ia berdoa agar dipertemukan kembali dengan badai yang tega merenggut ayah dan kekasihnya. Saat ibunya terjaga, ia memutuskan untuk kembali ke perkampungan sendirian. Tanpa ada yang mengetahui, tanpa adanya teman. Ia berjalan menuju bibir pantai yang telah sunyi peradaban. Tak lagi memedulikan apapun, juga perasaan ibunya yang saat ini mungkin sedang gelisah mencarinya.

Ia menunggu badai seharian. Bahkan saat malam, tak ia dapati badai itu memunculkan diri. Arini tak menyerah, ia menunggu dengan amarah yang siap ia lontarkan kala badai itu datang. Hingga terik kembali menaik, gemuruh mulai menunjukkan kekuatannya. Berdirilah Arini di ambang lautan yang kian menjelma tameng pagar tinggi. Dalam raut sayu kuyu karena terjaga semalaman, Arini tersneyum dalam hati,
"Akhirnya kau datang juga"
Dipejamkannya mata Arini, bersiap membuka jawaban akan pertanyaan dimana letak kekasih dan ayahnya berada. Tanpa waktu lama, pagar itu menjadi gulungan yang menyapu bersih isi perkampungan. Menghilangkan jejak-jejak kenangan yang terpatri dalam setiap ingatan. Menggulung tubuh Arini yang pasrah ia serahkan. Menghanyutkan seluruh dendam, benci, juga kerinduan. Menyisakan gemuruh berbaur kesunyian yang mencekam. Nuansa pantai yang seharusnya menjadi kenangan manis baginya kini seakan tak layak terekam. Sahabatnya yang dulu ia cinta kini telah memeluknya, merengkuhnya tanpa koma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar