Senja menampakkan
elegi sore dengan begitu memesona. Semburat jingga cahayanya menyatu dengan
garis batas langit dan laut pantai selatan. Panorama yang sempurna sebagai
bukti kuasaNya. Deburan ombak masih setia mengiringi mentari pulang. Dan
sebentar lagi, sang rembulan akan datang bersama kawanan bintang-bintang.
Desa Rengggono
adalah suatu desa yang terletak di bibir pantai Selatan. Hamparan lautan yang
menawan senantiasa menarik para pelancong untuk menikmati keindahannya. Di desa
Renggono ada satu perkampungan kecil yang penduduknya tinggal tak jauh dari
bibir pantai.Ssebagian penduduk lelakinya
adalah nelayan, sedangkan para istri menjual ikan di area pinggir
pantai. Setiap hari, pantai ini tak pernah sepi. Hanya saja, ketika musim badai
tiba, area pantai akan ditutup bagi wisatawan yang datang. Seluruh anggota
perkampungan lantas mengungsi ke desa lain. Hal ini menjadi kebiasaan sejak
bencana tsunami memeluluhlantakkan perkampungan mereka 5 tahun silam. Dan warga
sempat merasa trauma, kini mulai terbiasa dengan musim mengungsi kala badai
tiba. Terlebih lagi, alam tak pernah memberi peringatan kapan ia akan
menumpahkan amarahnya pada manusia.
Arini, termenung di
pinggir pantai menanti senja menyembunyikan bola cahayanya. Dipandanginya laut
lepas yang kehilangan kebiruannya. Diraihnya buih-buih ombah yang menjamah kaki
putihnya. Hanya berdiam, menatap tajam lautan yang tak kian menjawab kesunyian
yang ia ajukan. Hingga langit menggelap, Arini masih terjaga dalam khusuk
renungan.
"Arini… pulang
nduk, wes maghrib" teriak ibunya dari teras rumah yang tak jauh dari bibir
pantai.
Ditolehnya raut
wajah ibu yang melambai-lambai dari teras rumah bambunya. Ia mengangguk.
Sebelum beranjak, ia kembali menatap lautan.
"Badai, aku
masih menunggumu."
Berjalanlah pelan
Arini pulang. Bersama kenangan yang mengingatkan akan Pras, kekasihnya yang
telah mati dilahap ombak tsunami 5 tahun silam. Juga ayahnya yang tak pernah
kembali lagi semenjak pergi melaut dan terjadi badai 2 tahun lalu. Hingga
sekarang, belum ada kabar. Bahkan, orang-orang yang ikut melaut bersamanya juga
tak ada kabarnya. Arini dan ibunya tak
mampu berbuat apa-apa selain sabar menanti. Entah menanti kedatangan ayahnya
pulang atau menanti berita tentang kematian. Namun 2 hal itu tak pernah ia
dapatkan. Dan menunggu adalah satu-satunya jalan.
Sejak kecil, Arini
sudah terbiasa dengan pantai dan deburan gelombang yang singgah di bibir
pantai. Ia bagaikan sahabat karib yang setia menemani bermain saat masa kecil,
juga Pras, sahabat masa kecil yang tumbuh menjadi kekasih sejak 10 tahun silam.
Namun lambat laun, Arini mulai lelah dengan butiran ombak yang sejak kecil yang
biasa menyapanya. Bisa-bisanya sebagai kawan tega merenggut orang-orang yang
dicintainya.
Teringat jelas saat
tsunami itu datang 5 tahun silam. Ketika Arini dan Pras sedang duduk di
pinggiran pantai bercengkrama membicarakan perihal masa depan mereka. Saat itu
ayah dan ibunya sedang pergi ke desa sebelah untuk mencari tanggal yang baik
untuk pernikahan meraka. Namun tanpa disangka-sangka, sebuah gempa kecil
mengguncang perkampungan, yang disambut ombak bergemuruh seakan kehilangan
kendali untuk mengenali sahabatnya sendiri. Perkampunganpun kian kocar kacir
saat gemuruh kembali menggoyangkan bumi untuk kedua kalinya. Hingga saat semua
tersadar, ombak besar dari lautan setinggi pohon kelapa mengejar kawanan
manusia yang tak siap apa-apa. Menenggelamkan apapun yang terpahat di sana.
Meluluhlantakkan para manusia, lapak dagangan mereka, juga rumah-rumah bambu
yang menjadi pagar para ombak. Lautan tak lagi mengenal rumahnya. Amarahnya
menggila tiba-tiba. Pras segera menggenggam tangan Arini berlari semampunya.
Hingga keduanya kalap dalam air bah yang tak kuasa memendam amarah. Pras masih
memegang erat kekasihnya. Entah apa yang terjadi ia terpisah dari Arini. Tak
ada kata, tak ada lagi keramaian. Semua terjadi begitu cepat tanpa jeda untuk
bertahan. Hingga raga terlelap mengikuti kemana arah takdir yang menentukan.
Saat terbangun dari
tidurnya, Arini harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya tak akan pernah
kembali lagi. Masa depan yang telah mereka musyawarahkan tak akan pernah
menjadi kenyataan. Atau, kenyataanlah yang tak mengijinkan mereka
mewujudkannya. Semua ini tak bisa Arini terima. Ia mengumpat dalam diri, ia
menangis tersedu tanpa peduli. Untuk pertama kalinya, Arini memendam benci.
Bukan kepada manusia, tapi kepada ombak yang telah merenggut separuh jiwanya.
Merenggut rumahnya, merenggut orang-orang yang disayanginya.
Belum sembuh
mengobati luka kehilangan Pras, Arini harus menerima kenyataan untuk kembali
kehilangan untuk kedua kalinya. Ayahnya yang melaut dini hari tak pernah pulang
hingga hari ini. Tak ada kabar, tak ada berita. Hanya ombak yang mampu menjawab
pertanyaannya. Namun apa mau dikata, kebencian itu tumbuh lebih besar kepada
ombak yang telah selama ini menjadi bagian hidupnya.
Semenjak ayahnya tak
pernah kembali, Arini berubah menjadi seorang yang lebih banyak diam. Ia lebih
sering merenung di pinggir pantai setiap hari. Menunggu badai menjawab
pertanyaannya.
"nduk, ojo
sering-sering ning pinggir laut, iki usume laut pasang, bahaya nduk"
nasihat ibunya kala ia sampai di rumah. Ibu Arini tak pernah absen untuk
mengingatkan anaknya tentang hal ini setiap kali musim badai tiba. Dan ia hanya
mengangguk sambil tersenyum kecil kepada ibunya.
"Besok, kuharap
kau datang menjawab tantanganku. Aku masih menunggumu." lirihnya dalam
hati sambil memandang lautan dari bilik jendela kamar.
Seakan Tuhan
mendengar pintanya. Dini hari, sebelum subuh mengumandangkan syair keagungan
Sang Pencipta, orang-orang dari desa datang untuk mengabarkan bahwa
perkampungan mereka sekarang tidak aman. Menurut badan klimatologi yang
memantau kearifan pantai Renggono, akan terjadi tsunami lagi dalam waktu dekat
ini. Semua orang dihimbau untuk segera
berkemas dan bergeggas menuju penampungan. Warga berbondong-bondong
membawa segala harta berharga mereka untuk diamankan. Namun tidak dengan Arini.
Ia hanya membawa dirinya tanpa barang bawaan. Ia ikuti kemana arah mobil-mobil
yang membawa mereka manjauh dari perkampungan. Kawasan pantaipun terisolasi
dari kegiatan apapun.
Hingga siang datang,
tak ada tsunami yang datang seperti apa yang dikataan para petugas. Para warga
bersyukur lega dan berharap tsunami itu hanya gejala alam saja, bukan kenyataan
pada akhirnya. Namun tidak demikian dengan Arini. Ia berdoa agar dipertemukan
kembali dengan badai yang tega merenggut ayah dan kekasihnya. Saat ibunya
terjaga, ia memutuskan untuk kembali ke perkampungan sendirian. Tanpa ada yang
mengetahui, tanpa adanya teman. Ia berjalan menuju bibir pantai yang telah
sunyi peradaban. Tak lagi memedulikan apapun, juga perasaan ibunya yang saat
ini mungkin sedang gelisah mencarinya.
Ia menunggu badai
seharian. Bahkan saat malam, tak ia dapati badai itu memunculkan diri. Arini
tak menyerah, ia menunggu dengan amarah yang siap ia lontarkan kala badai itu
datang. Hingga terik kembali menaik, gemuruh mulai menunjukkan kekuatannya.
Berdirilah Arini di ambang lautan yang kian menjelma tameng pagar tinggi. Dalam
raut sayu kuyu karena terjaga semalaman, Arini tersneyum dalam hati,
"Akhirnya kau
datang juga"
Dipejamkannya mata
Arini, bersiap membuka jawaban akan pertanyaan dimana letak kekasih dan ayahnya
berada. Tanpa waktu lama, pagar itu menjadi gulungan yang menyapu bersih isi
perkampungan. Menghilangkan jejak-jejak kenangan yang terpatri dalam setiap ingatan.
Menggulung tubuh Arini yang pasrah ia serahkan. Menghanyutkan seluruh dendam,
benci, juga kerinduan. Menyisakan gemuruh berbaur kesunyian yang mencekam.
Nuansa pantai yang seharusnya menjadi kenangan manis baginya kini seakan tak
layak terekam. Sahabatnya yang dulu ia cinta kini telah memeluknya,
merengkuhnya tanpa koma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar