Dalam kehidupan,
kita sering belajar banyak hal melalui orang lain. Seperti arti kasih sayang
dan kelembutan yang sering ibu ajarkan kepada kita. Tentang gigihnya berjuang
dan arti berkorban yang telah dicontohkan ayah kita. Atau tentang arti berbagi
dan mengasihi seperti persahabatan yang kita jalin bersama teman.
Suatu hari, ketika
aku dalam kereta yang memboyongku dari kampung halaman menuju kota tempat
dimana aku menuntut ilmu, ada seorang lelaki yang duduk di hadapanku.
Perawakannya tinggi, tampan, dan bisa dibilang necis. Dalam sepintas siratan,
setiap orang yang memandangnya pasti berhasil membawa asumsi bahwa pemuda ini
adalah pemuda berpendidikan. Ditambah penampilannya yang serba rapi dengan
kacamata yang enggan turun dari panggung hidungnya yang sedikit mancung.
Dihadapan kacamatanya yang tebal, bertenggerlah sebuah buku yang tiada henti
menyita perhatian matanya untuk terpaku mengikuti arah tulisan di dalamnya.
Sepintas aku membaca judulnya. "Intelektual vs Moral". Judul yang
menarik.
Sementara menikmati
indahnya panorama dari dalam kereta, aku merenungkan judul buku yang dibaca
pemuda itu. Aku teringat seorang bijak mengatakan bahwa sepandai apapun manusia
jika tak bermoral maka dia hanya akan jadi sampah. Orang pintar yang tak bermoral
sama saja dengan menginjak-injak ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang
bermoral, sekalipun dia bukan orang pintar, sesungguhnya dia sedang mengamalkan
ilmu yang dimilikinya. Itu lebih dari sekedar kata pintar, yaitu pintar
memanfaatkan.
Akupun teringat
dengan sosok yang mengajarkanku arti dari nilai moral. Dialah kakekku. Kakekku,
setiap kali ingin bertanya kepada anak-anaknya atau cucu-cucunya, beliau selalu
mengawali kalimatnya dengan kata-kata,
"Nduk, aku ape
takok, aku iki ancen wong bodo, gangerti opo-opo, makane aku takok,…."*
*(Nak, aku mau
bertanya, aku ini orang bodoh, maka dari itu aku bertanya )
Begitulah kalimat
pertama yang kakek ucapkan setiap kali beliau ingin menanyakan sesuatu, lantas
beliau menanyakan apa yang ingin diutarakan. Bagi orang pada umumnya, mungkin
ini kalimat biasa. Namun bagiku, kalimat ini sungguh kalimat luar biasa yang bermakna
kerendahan hati manusia. Memang, kakekku bukanlah seorang intelektual yang
lulus dari perguruan tinggi terkenal. Beliau mengenyam ilmu di pondok pesantren kampung halaman yang
terbatas fasilitas. Namun dibalik latar belakang pendidikan yang terlihat tidak
cemerlang, beliau memiliki kemampuan menjalin dan menghadapi manusia dengan
pembawaan menawan. Syarat akan kesopanan dan kerendahan hati, mengalahkan sikap
para pemuda yang katanya berintelektual tinggi.
Karena beliaulah,
aku mendapatkan kasih sayang dan kepedulian dari ibuku. Mendapatkan ajaran
agama yang sempurna beliau wariskan kepada ibuku, hingga akhirnya turun
kepadaku. Sungguh, aku belajar banyak padanya tentang bergantung kepada Tuhan.
Tentang keterbatasan manusia. Tentang setiap ujian dan kebahagiaan yang menguji
kita. Semua ini tidak kudapatkan dari tempat dimana aku selalu berangkat pagi
pulang sore sambil membawa buku setebal tiga jari tangan. Dan semua ilmu hebat
ini bahkan tidak tercantum dalam ipk. Namun nilai ilmu yang sesungguhnya adalah
sebesar apa kita mampu mengamalkannya. Bagaimana diri kita, itulah cerminan
ilmu kita. Bukan sekedar ipk yang nyatanya seringkali ganjal dengan moralitas
perilakunya.
Terkadang, kita
seringkali merasa sombong akan ilmu atau gelar yang kita sandang. Bukankah
kesombongan itu sendiri bukti bahwa ilmu yang kita miliki tak berarti?
Sedangkan anak SD saja tau bahwa sombong adalah sifat tidak terpuji. Lantas
mengapa kita masih saja menyombongkan diri? Apakah ingin diakui? Oleh
siapa? Bahkan pengakuan manusia dewasa tidak lebih hebat dari pengakuan
seorang balita.
Sungguh, aku sudah
sering bertemu dengan pemuda pemudi yang memiliki prestasi cemerlang dalam hal
pendidikan, namun ternyata dalam menjalin komunikasi dengan orang lain yang
lebih tua tak nampak unggah-ungguhnya. Lantas dimana letak pandainya? Bukankah
seorang yang berilmu seharusnya ditunjukkan melalui sikap dan sifatnya dalam
berkehidupan? Bukan hanya disimpan dalam bentuk angka yang tertulis pada
selembar kertas yang seringkali digunakan untuk mengukur kualitas. Yang sering
kita puja, kita kejar, bahkan rela mengeluarkan pundi-pundi rupiah untuk
mendapatkan selembar kertas yang umum disebut ijazah. Padahal, angka yang
tertulis di sana tidak bisa menjamin seseorang benar-benar sesuai dengan apa
yang dikategorikan.
Kita seringkali
mengedepankan pendidikan formal ketimbang pendidikan dalam beragama. Itulah
salah satu sebab orang yang pandai sekalipun kadang moralnya masih jauh dari kadar
intelektualnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar