Jumat, 20 Mei 2016

Intelektualitas vs Moralitas


Dalam kehidupan, kita sering belajar banyak hal melalui orang lain. Seperti arti kasih sayang dan kelembutan yang sering ibu ajarkan kepada kita. Tentang gigihnya berjuang dan arti berkorban yang telah dicontohkan ayah kita. Atau tentang arti berbagi dan mengasihi seperti persahabatan yang kita jalin bersama teman. 

Suatu hari, ketika aku dalam kereta yang memboyongku dari kampung halaman menuju kota tempat dimana aku menuntut ilmu, ada seorang lelaki yang duduk di hadapanku. Perawakannya tinggi, tampan, dan bisa dibilang necis. Dalam sepintas siratan, setiap orang yang memandangnya pasti berhasil membawa asumsi bahwa pemuda ini adalah pemuda berpendidikan. Ditambah penampilannya yang serba rapi dengan kacamata yang enggan turun dari panggung hidungnya yang sedikit mancung. Dihadapan kacamatanya yang tebal, bertenggerlah sebuah buku yang tiada henti menyita perhatian matanya untuk terpaku mengikuti arah tulisan di dalamnya. Sepintas aku membaca judulnya. "Intelektual vs Moral". Judul yang menarik.
Sementara menikmati indahnya panorama dari dalam kereta, aku merenungkan judul buku yang dibaca pemuda itu. Aku teringat seorang bijak mengatakan bahwa sepandai apapun manusia jika tak bermoral maka dia hanya akan jadi sampah. Orang pintar yang tak bermoral sama saja dengan menginjak-injak ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang bermoral, sekalipun dia bukan orang pintar, sesungguhnya dia sedang mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Itu lebih dari sekedar kata pintar, yaitu pintar memanfaatkan.
Akupun teringat dengan sosok yang mengajarkanku arti dari nilai moral. Dialah kakekku. Kakekku, setiap kali ingin bertanya kepada anak-anaknya atau cucu-cucunya, beliau selalu mengawali kalimatnya dengan kata-kata,
"Nduk, aku ape takok, aku iki ancen wong bodo, gangerti opo-opo, makane aku takok,…."*
*(Nak, aku mau bertanya, aku ini orang bodoh, maka dari itu aku bertanya )
Begitulah kalimat pertama yang kakek ucapkan setiap kali beliau ingin menanyakan sesuatu, lantas beliau menanyakan apa yang ingin diutarakan. Bagi orang pada umumnya, mungkin ini kalimat biasa. Namun bagiku, kalimat ini sungguh kalimat luar biasa yang bermakna kerendahan hati manusia. Memang, kakekku bukanlah seorang intelektual yang lulus dari perguruan tinggi terkenal. Beliau mengenyam ilmu di  pondok pesantren kampung halaman yang terbatas fasilitas. Namun dibalik latar belakang pendidikan yang terlihat tidak cemerlang, beliau memiliki kemampuan menjalin dan menghadapi manusia dengan pembawaan menawan. Syarat akan kesopanan dan kerendahan hati, mengalahkan sikap para pemuda yang katanya berintelektual tinggi.

Karena beliaulah, aku mendapatkan kasih sayang dan kepedulian dari ibuku. Mendapatkan ajaran agama yang sempurna beliau wariskan kepada ibuku, hingga akhirnya turun kepadaku. Sungguh, aku belajar banyak padanya tentang bergantung kepada Tuhan. Tentang keterbatasan manusia. Tentang setiap ujian dan kebahagiaan yang menguji kita. Semua ini tidak kudapatkan dari tempat dimana aku selalu berangkat pagi pulang sore sambil membawa buku setebal tiga jari tangan. Dan semua ilmu hebat ini bahkan tidak tercantum dalam ipk. Namun nilai ilmu yang sesungguhnya adalah sebesar apa kita mampu mengamalkannya. Bagaimana diri kita, itulah cerminan ilmu kita. Bukan sekedar ipk yang nyatanya seringkali ganjal dengan moralitas perilakunya.

Terkadang, kita seringkali merasa sombong akan ilmu atau gelar yang kita sandang. Bukankah kesombongan itu sendiri bukti bahwa ilmu yang kita miliki tak berarti? Sedangkan anak SD saja tau bahwa sombong adalah sifat tidak terpuji. Lantas mengapa kita masih saja menyombongkan diri? Apakah ingin diakui? Oleh siapa?  Bahkan pengakuan manusia  dewasa tidak lebih hebat dari pengakuan seorang balita.

Sungguh, aku sudah sering bertemu dengan pemuda pemudi yang memiliki prestasi cemerlang dalam hal pendidikan, namun ternyata dalam menjalin komunikasi dengan orang lain yang lebih tua tak nampak unggah-ungguhnya. Lantas dimana letak pandainya? Bukankah seorang yang berilmu seharusnya ditunjukkan melalui sikap dan sifatnya dalam berkehidupan? Bukan hanya disimpan dalam bentuk angka yang tertulis pada selembar kertas yang seringkali digunakan untuk mengukur kualitas. Yang sering kita puja, kita kejar, bahkan rela mengeluarkan pundi-pundi rupiah untuk mendapatkan selembar kertas yang umum disebut ijazah. Padahal, angka yang tertulis di sana tidak bisa menjamin seseorang benar-benar sesuai dengan apa yang dikategorikan.

Kita seringkali mengedepankan pendidikan formal ketimbang pendidikan dalam beragama. Itulah salah satu sebab orang yang pandai sekalipun kadang  moralnya masih jauh dari kadar intelektualnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar