"Aku paling
benci dibohongi, dalam bentuk apapun jenis kebohongan."
***
Aku masih
terpaku melihat jasadnya yang kini telah tertanam rapi. Taburan bunga-bunga di
atas kuburnya tak sanggup mengobati segala luka dan kehilangan yang kurasa.
Wangi semerbaknya tak mampu tertembus indra penciumanku yang tlah penuh dengan
ingus tangisku. Aku masih meneteskan air mata. Kakak perempuanku tak kalah
kalutnya denganku. Bahkan, dia berulang-ulang pingsan. Aku masih lega karena
aku terlahir sebagai lelaki, buka perempuan yang mudah pingsan. Tapi jika itu bisa membuatku tenang,
aku memilih menjadi perempuan agar bisa pingsan menerima kenyataan dan terdiam
dalam kesunyian mencari keadilan Tuhan.
Aku tau, aku memang egois. Tapi
apa yang telah ia perbuat membekaskan luka dan bermetamorfosa menjadi
penyesalan yang sempurna. Meninggalkan tangisan jiwa yang tak akan bisa lagi
terdengar olehnya. Orang yang telah membohongiku dengan balutan manisnya cinta.
Aku teringat
saat aku kecil, kala sedang dirawat di rumah sakit, aku merengek minta
dibelikan pizza. Diapun membelikan apa yang aku mau tanpa ragu dengan senyum
cinta khas seorang wanita. Namun setelah aku sembuh, kakakku mengatakan bahwa
ia berlarian ke rumah tetangga untuk meminjam uang demi menuruti keinginanku
makan pizza. Sejak saat itu, aku tak lagi minta aneh-aneh darinya, terutama
dengan hal tang berbau mahal. Karena ia
pasti akan mengusahakan agar keinginanku dan kakakku terpenuhi. Padahal, ia tau
bahwa ia bukan orang berpunya yang mampu memanjakan kami dengan kemewahan
dunia.
Dialah
satu-satunya orang yang menghidupiku juga kakakku. Dia bekerja sebagai buruh di
industri pembuatan tahu dekat rumahku. Suatu ketika saat aku harus membayar SPP
sekolahku yg sudah nunggak 3 bulan, dia tersenyum dan berkata bahwa besok akan
ia bayarkan. Pada akhirnya aku tahu bahwa ia membayarkan SPP sekolahku dengan
meminjam uang majikan tempat ia bekerja dan menggantinya dengan bekerja tanpa
libur plus potongan sebagian gajinya. Lagi-lagi, hatiku luruh karenanya.
Dia juga bercerita bahwa ayahku
telah meninggal dunia saat aku masih dalam kandungan. Namun saat aku menginjak
umur 25 tahun, seseorang datang padaku dan mengaku bahwa aku adalah putranya.
Satu kebohongan lantas terungkap bahwa selama ini dia tak memberitahuku
perihal ayahku karena ayahku telah pergi meninggalkanku bahkan sebelum aku
dilahirkan. Dia mengatakan hal demikian agar aku tak lantas membenci ayahku
atas apa yang ia lakukan padaku dan kakakku.
Dan saat aku ingin meneruskan
belajar di bangku kuliah, dia juga tetap mengijinkan. Padahal aku tahu,
perekonomian saat itu sangat tidak memungkinkan untukku melanjutkan sekolah
tinggi. Kakakku bahkan telah memutuskan untuk bekerja setelah lulus SMA agar
tak terlalu membebaninya. Meski kakakku melarangku untuk melanjutkan kuliah,
dia dengan tenang tetap menginjinkanku.
"Tenang le, kamu pasti bisa
kuliah. Soal biaya kamu ndak usah mikir, pasti nanti ada jalan.", katanya
meyakinkan. Benar, pada akhirnya ia mampu mencukupi kuliahku selama 3 tahun
ini.
Hingga aku lulus, ia mulai
sakit-sakitan. Aku telah menyarankannya untuk berobat ke rumah sakit agar kita
tau apa penyakit yang dideritanya. Namun yang ia katakan,
"Ndak papa, ini cuma
kecapean. Buat tidur juga nanti sembuh sendiri".
Bahkan meski aku sudah
berpenghasilan sendiri dan mampu membawanya ke rumah sakit, ia tetap
menolak. Sampai pada akhirnya aku
mendapatinya pingsan di kamar. Lagi-lagi satu kebohongan terbongkar. Sakit yang ia alami karena gangguan ginjal. Dokter mengatakan bahwa
ginjalnya hanya 1. Ada bekas operasi pengambilan ginjal. Itu artinya, ia telah
menjual salah satu ginjalnya. Untuk apa?? “menguliahkanku”. Dadakupun sesak
dibuatnya. Bertambah parah saat dokter mengatakan bahwa tak lama ia akan
bertahan. Parah sakitnya sudah fatal. Tuhan, tabir apalagi yang akan kau
persembahkan padaku.
Akupun menyesal, akupun
lunglai menggadapi kenyataan. Hingga saat ia menjemput mautnya dan menyisakan
pesan terakhir yang terbata,
“Ibu bahagia bisa melahirkan
kalian, ibu bangga dengan anak-anak ibu, ibu bahagia bisa berjuang membesarkan
kalian. ”
Dua kalimat syahadat
memungkasi kalimatnya. Malaikatpun tak segan-segan mengambil nyawa ibu tanpa
permisi di hadapanku. Rasanya ingin kumaki malaikat yang berani mengambil nyawa
ibuku. Tapi apa daya aku, manusia yang hanya bisa menerima takdir Tuhan.
Kini, di depan pusaranya
yang masih wangi aroma melati, aku berdiri mengenangnya pergi. Ibu telah membohongiku selama ini. Ibu telah membual besar kepadaku
selama bertahun-tahun. Rasanya aku ingin marah, aku kesal, aku ingin berontak.
Sayangnya kebohongannya padaku dilakukannya untuk menghidupiku. Lantas untuk
alasan apa aku membencinya?
Jika ada seorang pembohong
besar di dunia, ibulah orangnya. Dia pembohong cantik yang menipuku dengan
cinta. Menutupi lukanya agar bisa membuatku hidup. Mencintaiku dengan sangat sempurna. Dialah ibu, penipu
cantik dalam hidupku.
"Aku tau, aku paling benci
dibohongi, dalam bentuk apapun jenis kebohongan. Kecuali kebohongan yang telah
dilakukan seorang ibu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar