Rabu, 11 Mei 2016

My Beautiful Liar


"Aku paling benci dibohongi, dalam bentuk apapun jenis kebohongan."
***
Aku masih terpaku melihat jasadnya yang kini telah tertanam rapi. Taburan bunga-bunga di atas kuburnya tak sanggup mengobati segala luka dan kehilangan yang kurasa. Wangi semerbaknya tak mampu tertembus indra penciumanku yang tlah penuh dengan ingus tangisku. Aku masih meneteskan air mata. Kakak perempuanku tak kalah kalutnya denganku. Bahkan, dia berulang-ulang pingsan. Aku masih lega karena aku terlahir sebagai lelaki, buka perempuan yang mudah pingsan. Tapi jika itu bisa membuatku tenang, aku memilih menjadi perempuan agar bisa pingsan menerima kenyataan dan terdiam dalam kesunyian mencari keadilan Tuhan.


Aku tau, aku memang egois. Tapi apa yang telah ia perbuat membekaskan luka dan bermetamorfosa menjadi penyesalan yang sempurna. Meninggalkan tangisan jiwa yang tak akan bisa lagi terdengar olehnya. Orang yang telah membohongiku dengan balutan manisnya cinta.
Aku teringat saat aku kecil, kala sedang dirawat di rumah sakit, aku merengek minta dibelikan pizza. Diapun membelikan apa yang aku mau tanpa ragu dengan senyum cinta khas seorang wanita. Namun setelah aku sembuh, kakakku mengatakan bahwa ia berlarian ke rumah tetangga untuk meminjam uang demi menuruti keinginanku makan pizza. Sejak saat itu, aku tak lagi minta aneh-aneh darinya, terutama dengan hal tang berbau mahal.  Karena ia pasti akan mengusahakan agar keinginanku dan kakakku terpenuhi. Padahal, ia tau bahwa ia bukan orang berpunya yang mampu memanjakan kami dengan kemewahan dunia.

Dialah satu-satunya orang yang menghidupiku juga kakakku. Dia bekerja sebagai buruh di industri pembuatan tahu dekat rumahku. Suatu ketika saat aku harus membayar SPP sekolahku yg sudah nunggak 3 bulan, dia tersenyum dan berkata bahwa besok akan ia bayarkan. Pada akhirnya aku tahu bahwa ia membayarkan SPP sekolahku dengan meminjam uang majikan tempat ia bekerja dan menggantinya dengan bekerja tanpa libur plus potongan sebagian gajinya. Lagi-lagi, hatiku luruh karenanya.

Dia juga bercerita bahwa ayahku telah meninggal dunia saat aku masih dalam kandungan. Namun saat aku menginjak umur 25 tahun, seseorang datang padaku dan mengaku bahwa aku adalah putranya. Satu kebohongan  lantas terungkap bahwa selama ini dia tak memberitahuku perihal ayahku karena ayahku telah pergi meninggalkanku bahkan sebelum aku dilahirkan. Dia mengatakan hal demikian agar aku tak lantas membenci ayahku atas apa yang ia lakukan padaku dan kakakku.
Dan saat aku ingin meneruskan belajar di bangku kuliah, dia juga tetap mengijinkan. Padahal aku tahu, perekonomian saat itu sangat tidak memungkinkan untukku melanjutkan sekolah tinggi. Kakakku bahkan telah memutuskan untuk bekerja setelah lulus SMA agar tak terlalu membebaninya. Meski kakakku melarangku untuk melanjutkan kuliah, dia dengan tenang tetap menginjinkanku.
"Tenang le, kamu pasti bisa kuliah. Soal biaya kamu ndak usah mikir, pasti nanti ada jalan.", katanya meyakinkan. Benar, pada akhirnya ia mampu mencukupi kuliahku selama 3 tahun ini.
Hingga aku lulus, ia mulai sakit-sakitan. Aku telah menyarankannya untuk berobat ke rumah sakit agar kita tau apa penyakit yang dideritanya. Namun yang ia katakan,
"Ndak papa, ini cuma kecapean. Buat tidur juga nanti sembuh sendiri".
Bahkan meski aku sudah berpenghasilan sendiri dan mampu membawanya ke rumah sakit, ia tetap menolak.  Sampai pada akhirnya aku mendapatinya pingsan di kamar. Lagi-lagi satu kebohongan terbongkar. Sakit yang ia alami karena gangguan ginjal. Dokter mengatakan bahwa ginjalnya hanya 1. Ada bekas operasi pengambilan ginjal. Itu artinya, ia telah menjual salah satu ginjalnya. Untuk apa?? “menguliahkanku”. Dadakupun sesak dibuatnya. Bertambah parah saat dokter mengatakan bahwa tak lama ia akan bertahan. Parah sakitnya sudah fatal. Tuhan, tabir apalagi yang akan kau persembahkan padaku.
Akupun menyesal, akupun lunglai menggadapi kenyataan. Hingga saat ia menjemput mautnya dan menyisakan pesan terakhir yang terbata,
“Ibu bahagia bisa melahirkan kalian, ibu bangga dengan anak-anak ibu, ibu bahagia bisa berjuang membesarkan kalian. ”
Dua kalimat syahadat memungkasi kalimatnya. Malaikatpun tak segan-segan mengambil nyawa ibu tanpa permisi di hadapanku. Rasanya ingin kumaki malaikat yang berani mengambil nyawa ibuku. Tapi apa daya aku, manusia yang hanya bisa menerima takdir Tuhan.
Kini, di depan pusaranya yang masih wangi aroma melati, aku berdiri mengenangnya pergi. Ibu telah membohongiku selama ini. Ibu telah membual besar kepadaku selama bertahun-tahun. Rasanya aku ingin marah, aku kesal, aku ingin berontak. Sayangnya kebohongannya padaku dilakukannya untuk menghidupiku. Lantas untuk alasan apa aku membencinya?
Jika ada seorang pembohong besar di dunia, ibulah orangnya. Dia pembohong cantik yang menipuku dengan cinta. Menutupi lukanya agar bisa membuatku hidup. Mencintaiku dengan sangat sempurna. Dialah ibu, penipu cantik dalam hidupku.
"Aku tau, aku paling benci dibohongi, dalam bentuk apapun jenis kebohongan. Kecuali kebohongan yang telah dilakukan seorang ibu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar